Oleh Dadang Kusnandar
DALAM sepenggal perjalanan saya 1986–1987 saat bersama teman-teman alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur mendirikan pesantren di Desa Kartajaya, Kecamatan Pakuanratu, Kabupaten Lampung Utara__rakyat di sana memiliki puluhan hektar tanah. Tanpa sertifikat, mereka menggunakan tanah untuk berkebun dengan sistem berpindah tanam (nomaden) dengan cara penebangan dan pembakaran pohon sebelum masa penanaman tiba (istilah Lampungnya: Najuk). Atas kesepakatan warga setempat dan diketahui Kepala Desa saat itu, Akibasyah, rakyat menyerahkan (menghibahkan) 200 hektar tanah berbukit dan bersungai kecil bagi pengembangan pesantren Mekkah.
Tak seberapa lama seusai pesantren membangun 3 lokal kelas dan 7 bangunan pendukung serta sebuah masjid, dengan konstruksi kayu yang dihasilkan di tanah 200 hektar itu, puluhan rumah program translok didirikan di atas tanah pesantren. Sampai di mana masalah itu kini, saya kehilangan komunikasi. Apakah karena 200 hektare tanah hibah rakyat kepada yayasan pesantren tidak bersertifkat, sehingga dengan mudah dinas transmigrasi Kabupaten Lamung Utara mendirikan puluhan rumah dan membagikan 3 hektare tanah bagi peserta translok saat itu? Ataukah memang status tanah negara di lokasi jauh dari jangkauan kemajuan sehingga bebas digunakan siapa saja? Padahal tak jauh dari situ ada perkebunan tebu dan pabrik gula di Tegineneng.
Bagi rakyat buat apa mengurus sertifikat tanah, saat itu di sana rakyat bebas memilih tanah, menentukan lokasi perkebunan, dan selalu berpindah pada tiap penanaman. Jarak yang jauh ke kota, bahkan harus ditempuh dengan perjalanan perahu kayuh selama 6 jam melawan arus Sungai Way Kanan (anak Sungai Way Tulang Balang) untuk sampai ke Kabupaten Lampung Tengah lalu diteruskan perjalanan mobil umum yang cuma ada sekali sehari ke ibu kota Lampung Utara, Kotabumi.
Tanah akhirnya menjadi barang mewah, terlebih adanya keyakinan masyarakat bahwa semakin lama harga tanah semakin mahal. Fenomena ini menunjukkan betapa sulitnya memperoleh sepetak tanah, betapa sulitnya rakyat dapat hidup tenang tak harus mengontrak rumah di perkotaan lantaran ketakmampuan ekonomi. Peliknya masalah pertanahan juga kian dipertajam dengan kenyataan mahalnya biaya pengurusan serifikasi tanah milik. Jutaan rupiah harus dikeluarkan rakyat untuk perolehan selembar sertifikat tanah. Badan Pertanahan Nasional setempat pun memang digenjot pemda untuk mendapatkan PAD.
Makin pelik masalah tanah diurai satu demi satu. Makin sulit rakyat kecil menikmati perolehan tanah, dan makin jauh tingkat kepedulian pemerintah melaksanakan program Tanah Untuk Rakyat. Di sisi lain semakin banyak petani yang menyewakan tanahnya kepada korporasi bisnis karena ketidakmampuan mengelola lahan sawah dan kebun akibat mahalnya harga bibit, obat tanaman dan pupuk. Setelah itu petani dan keluarganya menjadi buruh di tanah sendiri. Jangan heran jikalau masalah pertanahan banyak menyisipkan rasa ketidakadilan publik.
Jalan terbaik untuk sedikit mengurangi beban masalah pertanahan ialah keberanian kepala daerah di Indonesia untuk menyerahkan tanah tidur milik negara kepada rakyat bagi kepentingan pertanian. Menteri Pertanahan Sofyan Djalil pada bulan Maret 2017 menyampaikan bahwa kepastian hukum atas tanah kini menjadi salah satu perhatian pemerintah. Adapun langkah yang saat ini ditempuh Kementerian ATR/BPN ialah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) dari wilayah per wilayah. Ia menyadari persoalan pertanahan di Indonesia merupakan permasalahan yang rumit seperti benang kusut dengan berbagai penyebabnya. []
*Penulis lepas, tinggal di Cirebon.