Musik yang Kita Dengar

Oleh Dadang Kusnandar*

KETIKA para ahli menulis teori pentingnya menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan, musik terpilih menjadi alternatif. Menjadi sebuah kebutuhan. Konon musik (berada di otak kanan) bisa mensinergikan otak kiri yang terus dipacu untuk berpikir logis dan rasional. Keseimbangan otak kanan dan otak kiri inilah yang akhirnya menjadikan kita tidak melulu dijejali hal-hal yang bersifat analitis dan matematis. Maka perlu keseimbangan supaya hidup tidak semata-mata mengandalkan akselerasi berpikir dan bertindak. Meski untuk menciptakan musik pun tetap memerlukan kerja otak kiri, namun sesaat setelah musik itu diperdengarkan, fungsi otak kanan lebih terangsang untuk memberi asupan energi keindahan ke otak kiri.

Sejarah musik sudah dimulai dari zaman purbakala, meskipun kita tidak memiliki sumber informasi yang cukup. Pada zaman purbakala atau lazim juga disebut musik primitif ini, musik tidak memiliki tujuan tersendiri, seperti yang terjadi di Amerika dan Afrika. Fungsinya hanyalah sebagai alat saja, media atau bahan dalam ritual magis mereka. Magis pada musik itu mereka tinjau dari tiga segi, yaitu segi irama berupa tekanan dengan genderang atau bongo. Kedua, segi pengulangan beberapa kali yang telah diatur berapa kali pengulangan diperbolehkan. Ketiga, segi permainan untuk mengatur fungsi magis. Ketiga sifat ini terkandung dalam nyanyian dan tari mereka yang dilakukan dengan cermat. Beberapa tarian padri di pulau Nias, Bali, Afrika atau Amerika membuktikan hal ini.

Musik primitif nantinya akan diikuti oleh musik kuno yang tersebar di sebagian besar Eropa pada 1500 SM dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, meskipun di beberapa belahan dunia sudah memiliki musik sendiri. Perkembangan tersebut juga dipengaruhi oleh adanya sosialisasi yang terjadi pada suatu daerah dengan daerah lain, penerimaan masyarakat terhadap musik tertentu, dominasi peradaban dan kekuasaan kelompok-kelompok masyarakat/ suku tertentu yang mempengaruhi perjalanan bentuk dan aliran musik tersebut.

BACA JUGA:  Obrog-Obrog

World Music Day atau juga disebut Fete de la Musique merupakan festival musik yang dirayakan setiap tanggal 21 Juni. Acara ini dimulai di Perancis dan kemudian menyebar ke kota-kota lainnya seperti Argentina, Australia, Belgia, Luxemburg, Jerman, Switzerland, Costa Rica, Israel (di Jerusalem dan Tel-Aviv), China, India, Lebanon, Malaysia, Moroko, Pakistan, Philippina, Romania, Kolombia, Venezuela, Edinburgh, London, New York City.

Ide di balik Hari Musik Dunia pertama kali pada tahun 1976 oleh musisi Amerika, Joel Cohen. Cohen mengusulkan agar dirayakan pentas musik sepanjang malam dalam titik balik matahari di musim semi. Ide tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh Direktur Musik dan Tari Maurice Fleuret dan diajukan kepada Menteri Kebudayaan Jack Lang pada tahun 1981 dan mulai dirayakan pada tahun 1982.

Musik yang melantun itu kini hampir tiap saat kita dengar. Berbagai produk teknologi memperdengarkan musik. Bahkan musik kerap mengiringi aktivitas lain, termasuk di ruang belajar, perpustakaan, toko buku, dan lain-lain. Musik dengan kita sepertinya  “menyatu”. Penyatuan itu pada akhirnya tidak sekadar menyenangkan, melainkan mampu mengendorkan tingkat kepusingan tatkala pekerjaan yang dihadapi mengalami kesulitan.
Musik tidak cuma menghibur karena kecintaan kepada musik terbukti mampu memadukan unsur keindahan pada saat bekerja. Dengan musik pula ribuan orang mengais rejeki. Berbagai genre musik merupakan olah kreatif manusia yang tidak lepas dari kerjasama yang baik dan saling menunjang antara otak kiri dan otak kanan.

Bagi kalangan pemusik di Cirebon, agaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan musik seseorang dan atau sekelompok (grup) menjadi terkenal dan memperoleh keuntungan finansial. Dari musik tradisi, dangdut, pop Indonesia ~pemusik Cirebon mempertahankan hidup. Berbekal musik pula, beberapa diantaranya sukses meraih prestasi puncak hingga tak jarang menjejakkan kakinya di mancanegara. Dan dengan musik pula, jenis kesenian lain (misalnya tari, teater) menjadi selaras dan harmoni. Dalam bahasa lain musik dan pertunjukkan saling bersinergi hingga menjayikan performa kesenian yang menarik.

BACA JUGA:  Banyak PNS Kena OTT, Pemkab Cirebon Segera Bentuk Tim Saber Pungli

Hari musik sedunia, hari musik nasional, keterkaitan musik dengan kehidupan ~pada akhirnya menjadikan kita mafhum bahwa di balik keseriusan hidup yang memacu adrenalin, sesekali kita butuh penyegaran. Butuh suasana break down untuk mengendurkan ketegangan dan tekanan hidup. Sebagaimana kredo musik merupakan bahasa universal. Maksudnya, dengan ngomong menggunakan bahasa musik maka siapa saja yang mendengarkan akan mudah untuk menerimanya. Entah itu si Dimitri dari Rusia, Kohl dari Jerman, John dari Inggris, Watanabe dari Jepang atau Jet Lee dari China. Omongan dengan musik lebih bisa diterima dari pada menggunakan bahasa-bahasa lain.

Sifat musik yang universal itulah yang menyegerakan kita untuk memahami bahwa bunyi yang enak didengar telinga, bunyi yang diam-diam memberi keindahan, tidak lain adalah hasil olah kreatif manusia untuk memudarkan ketegangan menjadi ketenangan. []

*Penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *