Ilustrasi
CIREBON (CT) – Pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan 14 remaja kepada Yuyun, di Bengkulu menimbulkan polemik tersendiri.
Selain karena kekejaman pelaku yang secara bergiliran memperkosa korban hingga tewas, fakta bahwa ke-14 pelaku juga merupakan anak di bawah umur dengan rentang usia 13-15 tahun menimbulkan masalah tersendiri.
Seperti diketahui, dalam sistem hukum positif di indonesia, pada UU Perlindungan Anak juga dijelaskan soal Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Dalam UU itu, dijelaskan bahwa pelaku hukum yang masih berada di bawah usia 18 tahun, diupayakan untuk dilakukan diversi, atau pembalikan hukum, dari pidana ke perdata atau jalur musyawarah yang mufakat.
Namun, jika kejahatan yang dilakukan pelaku bersanksi lebih dari tujuh tahun penjara, maka diupayakan untuk mengambil konsep restorical justice, atau pemotongan masa tahanan dengan ditambahkan hukuman adat atau yang telah dimusyawarahkan sebagai efek jera bagi pelaku.
Menanggapi fakta tersebut, Ketua Women Crisis Center (WCC) Bilqis Cirebon, Saadah menjelaskan bahwa hukuman bagi pemerkosa dan pelaku kekerasan seksual anak adalah mutlak hukuman yang sesuai hukum pidana, tak bisa dikurangi dengan tuntutan atau pledoi yang meringankan.
“Pelaku kejahatan seksual, baik dewasa ataupun anak tetap harus dihukum berat,” ujar Saadah.
Ia pun mendesak pemerintah untuk segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena, ujar Saadah, dalam undang-undang itu dipaparkan pula bagaimana pelaku dan korban kekerasan seksual diperlakukan.
“Kita butuh payung hukum untuk kasus ini semua. Di RUU itu juga dijelaskan bahwa ada sistem rehabilitasi bagi pelaku, agar tak menular dan kembali dilakukan. Karena kekerasan seksual kadang menimbulkan adiksi sendiri, dan ini yang berbahaya. Pemerintah harus ambil sikap tegas,” pungkas Saadah. (Wilda)
Komentar