Citrust.id – Keberhasilan Indonesia meraih predikat Universal Health Coverage (UHC) tidak hanya ditopang oleh percepatan cakupan kepesertaan, tetapi juga oleh kemampuan negara memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan kapan pun dan di mana pun tanpa hambatan teknis maupun beban biaya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pratikno, mengatakan, jaminan sosial melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan ambisi besar negara untuk menghadirkan layanan kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan cakupan kepesertaan yang telah melampaui 98 persen, ia menilai tantangan pengelolaan sistem kesehatan nasional semakin kompleks.
“Inflasi alat kesehatan serta meningkatnya prevalensi penyakit berbiaya katastropik masih menjadi beban terbesar dalam pembiayaan JKN. Karena itu, penting adanya efisiensi dalam penyelenggaraan JKN tanpa menurunkan kualitas layanan di fasilitas kesehatan,” ujar Pratikno.
Senada dengan itu, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia, Muhaimin Iskandar, menegaskan bahwa pencapaian UHC merupakan investasi strategis bangsa yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Pemerintah, kata dia, memandang kesehatan bukan sekadar kebutuhan dasar, melainkan fondasi utama untuk membangun negara yang kuat dan sejahtera.
Sementara itu, mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Ahmad Nizar Shihab, menjelaskan, makna UHC yang sesungguhnya adalah memastikan layanan kesehatan dapat diakses dengan mudah tanpa membuat masyarakat jatuh miskin akibat biaya pengobatan.
“Itulah tujuan utama sejak awal penyusunan undang-undang tentang BPJS. Kami ingin memastikan tidak ada warga negara yang harus kehilangan masa depannya hanya karena tidak mampu membayar layanan kesehatan,” kata Nizar.
Nizar menuturkan, dalam Undang-Undang BPJS yang telah diresmikan, BPJS Kesehatan ditempatkan sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, bukan di bawah kementerian tertentu. Menurutnya, kebijakan tersebut diambil untuk menjamin tata kelola jaminan sosial tetap independen, stabil, serta mampu berkoordinasi lintas kementerian tanpa terikat kepentingan sektoral.
“Ketika Undang-Undang BPJS dirancang, para penyusun menginginkan BPJS menjadi lembaga yang kuat dalam ekosistem kesehatan nasional, namun bukan satu-satunya. Dengan melibatkan delapan kementerian, kami percaya sistem ini memiliki masa depan kesehatan nasional yang jauh lebih baik,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa inti dari sistem jaminan sosial Indonesia adalah nilai gotong royong yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Negara hadir menanggung iuran masyarakat kurang mampu, sementara masyarakat yang mampu turut berkontribusi untuk membantu sesama.
“Pencapaian UHC ini sejatinya merupakan pengejawantahan nilai paling mendasar bangsa Indonesia, yaitu gotong royong. Yang mampu membantu yang tidak mampu, dan negara hadir melindungi mereka yang paling rentan. Dengan begitu, tidak ada lagi orang Indonesia yang dibiarkan menderita karena sakit,” tutur Nizar.
Pada momentum peringatan World UHC Day, Nizar meyakini sistem jaminan sosial Indonesia akan terus membuka akses layanan kesehatan yang semakin luas dan merata. Ia berharap predikat UHC dapat menjadi pemicu bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat sarana, prasarana, serta kualitas layanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. (Haris)













