Oleh: Sudrajat (Pengamat Sosial)
Sejauh ini dunia sudah memiliki rencana aksi global dengan apa yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs) guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Ada 17 tujuan dan 169 target yang harus dicapai SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan hingga 2030 nanti.
17 tujuan itu yakni, menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, pendidikan yang bermutu, kesetaraan jender, akses air bersih dan sanitasi, energy bersih dan terjangkau, pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, infrastruktur industry dan inovasi, mengurangi ketimpangan, kota dan komunitas yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, menjaga ekosistem laut, menjaga ekosistem darat, perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat serta kemitraan untuk mencapai tujuan. (https://www.sdg2030indonesia.org).
Indonesia dengan bentang wilayah yang luas dan negara kepulauan dengan 17.504 pulau tentu memiliki tantangan tersendiri untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut. Saat ini, harus diakui pembangunan aspek social, ekonomi dan lingkungan masih menyisakan banyak masalah besar diantaranya angka kemiskinan yang masih tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin Indonesia pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta penduduk. Angka ini menurun 810 ribu penduduk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Jika dilihat dari persentase jumlah penduduk. Penduduk miskin hingga Maret 2019 tercatat 9,41 persen meskipun tampak menurunn dibandingkan tahun sebelumnya 9,82 persen. Sementara dari segi kewilayahan ketimpangan antara wilayah desa-kota juga masih ada.
Ketimpangan kelas social (kaya-miskin) yang oleh Jonathan Haughton disebut karena ketidakadilan proses pembangunan juga terjadi amat nyata didepan mata kita. (Kompas.com : “Ketimpangan Sosial: Pengertian, Bentuk, dan Faktornya”).
Pun dalam bidang lingkungan, pembangunan infrastruktur (penunjang ekonomi / investasi) yang kerap mengabaikan factor kelestarian lingkungan, berkontribusi amat besar terdegradasinya daya dukung lingkungan sehingga berakibat rusaknya ketahanan ekonomi rakyat akibat terjangan bencana alam.
Segregasi Sosial
Dampak dari fenomena pencapaian pembangunan yang tak merata tersebut, telah memunculkan fenomena apa yang disebut segregasi (pemisahan) social atau teralienasinya masyarakat terutama golongan miskin dalam menikmati hasil pembangunan. Mereka para kaum miskin (poor) tergusur menjadi warga negara pinggiran. Mereka hidup miskin dan kumuh dibalik kemegahan dan mercusuarnya pembangunan.
Potensi kerberlanjutan (sustainable) pembangunan menjadi terancam karena ketiga aspek pembangunan (social, ekonomi dan lingkungan) sebagai mata rantai pembangunan yang seharusnya bersifat reciprocal (timbal balik) dalam menopang pembangunan, justru saling menegasikan. Pada banyak kasus, hanya karena dalih pertumbuhan ekonomi, kebijakan pembanguna kerap menabrak kaidah-kaidah kelestarian lingkungan dan dampak social.
Atas nama pembangunan, tak jarang warga dari kelas social bawah (masyarakat miskin) menjadi korban penggusuran dari segi ruang (spatial), sehinga mereka tercerabut dari pusat-pusat kegiatan ekonomi yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Singkat kata, tujuan pembangunan yang semestinya mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan justru sebaliknya., semakin memperlebar jurang ketimpangan social dan kemiskinan. Bahkan berpotensi ancaman bagi kelangsungan kehidupan manusia (dehumanisasi).
Kebijakan Ruang (Spatial) Sebagai Kunci
Sebagaimana kita tahu, bahwa salah satu pokok kebijakan pembangunan tercermin dari kebijakan tata ruang. Atau yang kita kenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Dokumen ini merupakan dokumen rencana ruang yang mengatur peruntukan fungsi pada seluruh wilayah negara Indonesia. Dokumen ini berlaku secara nasional dan menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang pada level provinsi dan kabupaten/kota.
Ditingkat daerah kemudian dijabarkan menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), hingga Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Bahkan selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk dokumen detil ruang untuk kawasan-kawasan tertentu. Dalam pelaksanaan pembangunan, Dokumen RTRWK merupakan acuan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menerbitkan Izin Prinsip dan Izin Lokasi bagi investor/masyarakat pengguna ruang.
Begitu strategisnya kedudukan dokumen ini, Karenanya potensi bermain mata dan penyalahgunaan dokumen ini amat tinggi. Pada saat proses legislasi, tak jarang antara legislative, eksekutif dan korporasi menjadi ajang konspirasi untuk mengkapitalisasi kewenangan yang mereka miliki untuk kepentingan memperkaya diri dalam praktik KKN. Karena dalam prosesnya mulai dari penyusunan hingga pelaksanaannya nyaris luput dari pengawasan public bahkan cenderung tertutup.
Karenanya untuk meminimalisir praktek-praktek gelap dalam bisnis kebijakan ruang tersebut. Perlunya ditempuh semacam media konsultasi bagi masyarakat sipil (civil society) agar diberikan akses seluas-luasnya dalam setiap tahapan proses penyusunan document RTRWN, RTRWP, RTWRK dalam forum konsultasi public untuk menjamin dokumen kebijakan ruang yang transparan dan akuntabel.
Dengan demikian harapan Indonesia untuk memenuhi target tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) sampai 2030 tak lagi sekedar isapan jempol. Semoga. (*)