– dokNMN
dr. Soedarsono, proklamator yang membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan R.I. pada 15 Agustus 1945 di alun-alun Kejaksan.
Oleh: Nurdin M Noer*
TAK semua orang tahu, proklamasi dibacakan sebelum 17 Agustus 1945 di alun-alun Kejaksan. Tokohnya adalah Dokter Soedarsono, salah seorang dokter di Rumah Sakit Oranye (RSUD Gunung Jati, saat ini). Ayahanda dari Prof. Dr. Juwono Soedarsono (mantan Menteri Pertahanan era Soeharto) itu merupakan pejuang pada ranah politik di bawah Sutan Sjahrir. Ia membacakan teks proklamasi versi Sjahrir pada 15 Agustus 1945.
Sejarawan senior Unpad Bandung Dr. A. Sobana Hardjasaputra (2008) menduga proklamasi tersebut dibacakan di alun-alun Cirebon (Kejaksan, red). Namun, menurutnya ada dua versi mengenai pencetusan proklamasi kemerdekaan itu. Versi pertama, Soedarsono membacakan teks proklamasi konsep Sjahrir. Dan versi kedua menyebutkan, Soedarsono tidak membacakan teks proklamasi buatan Sjahrir. Bahkan sebagian orang Cirebon meyakini, pembacaan teks proklamasi dilakukan di Ciledug, sebuah kota kecil di bagian timur Cirebon.
Peristiwa proklamasi itu, menurut Sobana disaksikan sekira 50 orang. Soedarsono melakukan hal itu setelah menerima berita dari Sjahrir, bahwa Radio BBC (London) membertakan tentara Jepang telah menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Adakah teks proklamasi yang lain? Banyak catatan yang ditulis sejarah Indonesia maupun Barat, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia ditulis pada malam 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 17 Ramadhan. Teks tersebut ditulis Soekarno dan Hatta dibantu rekan seperjuangan lainnya di rumah Laksamana Maeda. Selesai ditulis pukul 04.00 WIB. Keesokan harinya 17 Agustus 1945 pukul 10.05 proklamasi dibacakan dan kabarnya segera menyebar ke seluruh dunia.
Namun sayang, proklamasi yang dibacakan oleh dr Soedarsono itu kurang mendapat sambutan dari rakyat, bahkan dari masyarakat Cirebon sendiri. Hal ini terjadi karena proklamasi tersebut lahir dalam friksi ideologis di kalangan pemuda pergerakan dan ketidak berdayaan Sjahrir untuk membujuk Bung Karno dan Bung Hatta mempercepat proklamasi. Di samping itu juga pamor Bung Karno di mata rakyat lebih kuat dibandingkan Sjahrir. Sehingga proklamasi di Cirebon tidak bergema di seluruh nusantara.
Di Jawa Barat, teks proklamasi tulisan Soekarno–Hatta dibacakan penyiar RRI Bandung, Sakti Alamsjah (pernah jadi Pimpinan Redaksi Pikiran Rakyat Bandung) setelah teks tersebut dibacakan di rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timoer 56 Jakarta.
Untuk lebih memahami kisi-kisi perjuangan rakyat Cirebon, para pejuang asal Cirebon menyarankan, untuk mengetahui sejarah perjuangan di Cirebon dan sekitarnya, sebaiknya membaca buku “Siliwangi dari Masa ke Masa”. Menurutnya, buku tersebut ditulis berdasarkan sumber yang lebih dapat dipercaya.
Sejarah rupanya telah melupakan Cirebon sebagai basis perjuangan pada 1945. Padahal daerah itu memiliki segudang pahlawan dan perlawanan bahkan sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825–1830) dimulai. Dalam sejarah perang kemerdekaan, Wilayah Cirebon tercatat sebagai salah satu basis perjuangan. Banyak peristiwa heroik yang terjadi di Cirebon dan sekitarnya. Tapi sayangnya, banyak catatan yang menjadi bukti sejarah tersebut hilang dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Setelah Republik Indonesia diproklamirkan, maka dengan Undang-Undang no. 1 tanggal 23 November 1945, Komite-komite Nasional (KNI) Daerah dengan badan-badan eksekutifnya dijelmakan. Otonomi yang tadinya lenyap mulai pasang (Moh. Sjafi-ie, 1956).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional daerah merupakan undang-undang pertama dalam suasana kemerdekaan mengenai pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan, “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil dan di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah (BPD), oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Harus diakui, bahwa undang-undang ini yang hanya terdiri dari enam pasal, sebagais satu undang-undang pokok atau basiswet untuk daerah-daerah swatantra adalah sangat sumier (Udin Koswara, 2000 : 46).
Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, kecuali Vorstenlander (Surakarta dan Yogyakarta) menyusul pula beberapa peraturan sejenis yang berlaku untuk daerah-daerah tertentu, kadang-kadang perlu didahului dengan mengadakan wilayah-wilayah pemerintahan (ibid). []
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.