Dua Poros Politik 2019, Isu yang Dipaksakan?

Oleh BINTANG IRIANTO

BEBERAPA saat yang lalu, kita bisa melihat kaitan persoalan politik menjelang pilpres yang sudah begitu terasa. Dimana isu-isu yang muncul untuk menjelaskan polarisasi dukungan terus berjalan, bagaikan rumput yang terus tumbuh di padang ilalang.

Bayangkan saja, belum masuk dalam hitungan pelaksanaannya, perbedaan-perbedaan pemikiran diantara dua poros yang berhadap-hadapan dalam memahami situasi pembangunan atau kebijakan negara berlangsung tanpa henti. Dari masalah satu berlanjut ke masalah yang lainnya. Hal ini kemungkinan untuk menentukan bahwa garis politik dengan isu-isu yang dimainkan, akan terlihat mana yang mendukung dan mana yang tidak, sehingga apapun isunya selalu muncul dipermukaan.

Akan tetapi yang kadang disesalkan, kalau kemudian isu-isu agama atau SARA dimunculkan, maka menjadi sesuatu yang tidak menarik.

Lantas, kesemua isu yang dijadikan komoditi politik apakah tidak mempunyai tujuan? Pastinya mempunyai tujuan yang sengaja didesain, agar kemudian tujuan-tujuan tersebut tercapai.

Tujuan tersebut bisa bermacam-macam, apakah sebagai pemetaan dukungan, atau guna menghitung pemahaman masyarakat terhadap informasi yang muncul. Atau memang untuk menempatkan kesamaan pendapat, agar isu yang terus hidup menjadi bahan diskusi atau bahan gunjingan, kemudian menjadikan kesepaktan pendapat sehingga bisa memuluskan tujuannya agar tercapai (?).

Isu-isu dalam politik sering dijadikan bahan untuk melihat atau memetakan basis dukungan, ketika setiap kejadian aktual selalu diwacanakan.

Melalui isu yang muncul, sangat erat kaitannya dengan pemahaman setiap individu masyarakat dalam memahaminya. Artinya, dalam setiap isu, ada upaya mengarahkan, menggiring dan menarik pemahaman massa, agar menjadi keinginan bagi tujuan yang sudah dijadikan desain informasi.

Dengan desain informasi yang dibuat sedemikian rupa, diharapkan akan menjadi polarisasi dalam melihat setiap perkembanganya, dimana dari informasi yang dimunculkan ke komunitas besar yang bernama masyarakat, entah melalui media sosial atau media elektronik, garis damarkasi ini akan menuai benang merah dari munculnya isu yang sudah berkembang di masyarakat.

BACA JUGA:  Telkomsel Gelar Nonton Film Bareng Serentak di 12 Kota

Sehingga, kesimpulan pada setiap isu yang muncul akan bisa dilihat sebagai tolak ukur, bagaimana langkah-langkah politik selanjutnya bisa berjalan lebih dinamis.

Contoh, ketika muncul isu tentang poros Mekkah-Beijing, isu-isu itu muncul sebagai bentuk untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa terjadi dua polarisasi politik, sehingga diksi yang dipilih dan dimunculkan itu sebagai pengenalan tentang adanya dua poros yang berhadap-hadapan dalam pilpres 2019 ini.

Dengan meunculnya isu tentang dua poros, maka akan terlihat mana yang memang mendukung pada satu poros dan mana yang tidak mendukung pada poros lainnya. Tentunya tujuan dengan memunculkannya isu dua poros tersebut, memberikan pemahaman tentang apa yang disebut dengan polarisasi politik.

Mengapa Isu Dua Poros Tetap Muncul

Mengapa isu dua poros tetap muncul? karena memang menurut penulis, tokoh-tokoh yang ingin masuk dalam bursa kepemimpinan tidak bisa masuk atau menerobos pada kebekuan pemahaman yang sudah tercipta sebelumnya.

Sehingga selalu, wacana-wacana yang didengungkan dengan kemungkinan adanya tiga poros selalu dipatahkan. Atau memang terdapat tujuan yang lain, sehingga ada ‘hidden agenda’ yang memang harus ditetapkan, bahwa kedua poros ini yang harus berhadap-hadapan. Maka setiap ada poros lain yang akan muncul, kemudian tidak laku di pasaran politik.

Bayangkan saja, ada beberapa tokoh yang mencoba untuk menerobos agar terjadinya tiga poros, sehingga polarisasi politik ini tidak berhadap-hadapan, akan tetapi selalu gagal di tengah jalan.

Padahal poros ketiga ini bisa membuat arah politik lebih dinamis, dan tidak beku.

Lantas yang menjadi pertanyaan, kenapa poros ketiga tidak muncul padahal secara kalkulasi politik sangat memungkinkan?

Stigma tentang poros Mekkah-Beijing bukan isu yang sangat biasa, karena narasi yang tercipta adalah memunculkan stigma di masyarakat tentang kepentingan yang bermain di dalamnya.

BACA JUGA:  Iuran JKN-KIS 500 Warga Kabupaten Cirebon Dibiayai Perusahaan

Artinya, bahwa dalam narasi itu terdapat pemahaman sistemik, sehingga ketika isu itu dimunculkan akan berdampak pada pendukungan, serta memberikan pemahaman seolah-olah kepada masyarakat tentang latar belakang dari isu tersebut.

Ini artinya, meminjam istilah Derrida tentang dekonstruksi, di dalam isu tersebut terdapat nalar sistemik yang sengaja dimunculkan untuk mengistilakan kepada khayalak tentang kubu yang berhadap-hadapan.

Apakah istilah itu baik bagi dinamisasi politik? Pertanyaan itu tergantung kita melihat dari sudut mana. Karena dalam politik, takaran sesuatu yang baik dan tidak, tergantung dari market politik.

Tinggal kemudian, mau tidak masyarakat masuk dalam kepentingan-kepentingan yang terlahir dari isu tersebut? Apakah sebuah isu bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi perkembangan kedewasaan berpolitik, tergantung bagaimana kita memahami isu sebagai bagian dari kehidupupan politik kita sekarang ini.

Memahami Isu Adalah Sebuah Permainan Kata

Melihat Apa yang dijelaskan di atas, maka seyogyanya kita harus memahami setiap narasi-narasi yang muncul dari apa yang disebut isu politik. Karena isu tersebut tidak semuanya faktual, terkadang hanya sebagai cara sistem untuk bisa mengatur atau memilah agar kepentingan politik tersebut bisa berjalan mencapai tujuannya.

Oleh karenanya, penting sekali kita memahmi isu politik dengan mencoba menganalisa dan mendialogkan fakta-fakta yang sebenarnya. Sehingga ketika isu itu muncul, kita mempunyai perangkat pengetahuan dan pemahaman untuk bisa menjelaskan bahwa isu politik mempunyai kejelasaan, atau malah sebaliknya, hanya untuk menggiring atau memetakan jalan kepentingan kelompok tertentu.

Karena isu adalah juga wacana, maka setiap wacana tentunya ada kepentingan di belakangnya. Isu politik pasti memiliki tujuannya. Apakah tujuan tersebut baik bagi masyarakat luas atau malah sebalikny? Biarlah masyarakat yang akan menilai. Walahu’alam bi shawab. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *