oleh

Bersahabat Menuju Allah

Oleh DADANG KUSNANDAR

SETIAP orang ingin punya sahabat. Persahabatan menjalin persaudaraan dan dengannya satu sama lain saling menguatkan. Ikatan kuat persahabatan pada mulanya ialah keinginan untuk berbagi.

Betapa indahnya memiliki sahabat. Berbalik sekali rasanya apabila kita tidak mempunyai sahabat. Sepi. Sendiri. Atau merasa sunyi dan terasing di keriuhan dunia.

Pada perjalanan kelompok pengajian,sekira akhir tahun 80-an, di dalam usrah ada Ikatan persahabatan. Lelaki dengan lelaki. Perempuan dengan perempuan. Seijin pimpinan usrah (murobi) Persahabatan itu terasa makin bermakna.

Lantaran jamaah usrah relatif banyak yang belum menikah maka kedua sahabat saling curhat masalah jodoh. Ini merupakan sinyal penguat Ikatan persahabatan. Pertimbangan serta persetujuan sahabat jadi penentu pengambilan keputusan.

Misalnya seorang perempuan anggota usrah saling menaksir dengan lelaki (termasuk lelaki yang tidak sejamaah usroh), sahabatnya pun ikut sibuk memberi masukan dan atau keberatan tentang lelaki dimaksud. Jika sang lelaki terpilih tentu telah melalui ritual shalat sunnah tengah malam. Begitu pula halnya dengan persahabatan antarlelaki.

Konon model persahabatan ini merupakan tafsir bebas atas ikatan Persahabatan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor di Madinah tak berselang lama pasca hijrah. Sesama pengikut Rasul adalah saudara. Sesama pengikut seorang murabi adalah juga saudara. Dan persaudaraan bermula dari persahabatan.

Selain urusan cinta, segala aktivitas dibicarakan bersama. Dan semakin asik masyuk bersahabat semakin ringan beban yang disandang. Fakta menjelaskan bahwa memiliki sahabat tak bukan adalah memiliki seseorang yang memahami diri kita. Luar dalam.

Ciri Sahabat

Kitab Iqodzul Himam fi Syarah al-Hikam menerangkan beberapa ciri sahabat. Kitab kuning yang disampaikan Kiai Sutejo Ibnu Pakar halaman 95 mencatat sembilan (9) hal.

Di kantor PC NU Kota Cirebon tiap Rabu malam dua pekan sekali, pada pengajian 24 Agustus 2016, ciri sahabat itu intinya meliputi masalah kekuatan tauhid. Ciri-ciri tersebut ialah, pertama, melihat diri orang lain seperti melihat Allah. Kedua, terbangkit untuk sadar mencintai Allah. Ketiga, menemani ketika tidak mengerti tentang Allah.

Ciri keempat, berbicara dengan menggunakan bahasa Allah (yatakalam billah).  Kelima, menganjurkan mendekati Allah. Keenam, bisa melenyapkan Anda, sirna ke dalam diri Allah minimal kepada diri Rasulullah Muhammad saw.

Berikutnya ciri ketujuh, jika bicara menyentuh ke seluruh relung hati. Kedelapan, ketika diam dia sedang mengajak Anda ke alam malakut. Dan kesembilan, ucapannya adalah ilmu.

Sembilan ciri sahabat seperti tertulis di atas dalam penjelasan Kang Tejo termaktub ujaran hadis nabi: Jangan mencari teman yang memuji-muji Anda di depan Anda, sesungguhnya ia tengah mengalungkan pedang di leher Anda. Dengan demikian bersahabatlah dengan siapa saja yang bis mengajak Anda menuju Allah.

Koridor Tauhid

Bersahabat sejatinya ialah berbagi untuk saling mengingatkan agar tetap berada pada koridor dan tuntunan tauhid. Pada tingkat lanjut, sahabat yang mampu memenuhi sembilan ciri di atas, relevan dengan hadis populer tentang tujuh golongan yang di yaumil akhir terlindung dari adzab neraka. Yakni dua orang pemuda yang berjumpa dan berpisah karena Allah swt.

Sungguh indah persahabatan yang terjalin karena mencintai Allah. Terlebih manakala setiap ucapan yang tercetus dari bibir tak lain adalah ilmu (ciri kesembilan).

Pertanyaannya kemudian, adakah sahabat sebagaimana sembilan ciri tadi? Insya Allah ada. Pembaca budiman dapat memilih salah satu ciri dari sembilan ciri dimaksud. Semua ciri yang diurai pada kitab karya besar Ibnu Athoilah tersebut saling bertaut satu sama lain.

Model persahabatan jamaah usroh tahun 1980-an masih ada hingga kini. Bahkan kian sublim. Persahabatan yang terjalin pada jamaah pengajian NU Kota Cirebon (yang dimotori Johandi, pengusaha muda nan energik) memperlihatkan secara nyata adanya wujud fastabiqul khairat dan ikatan silaturahim yang kuat.

Definisi sahabat secara umum adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka.

Jikalau ukuran persahabatan sebatas laba rugi seperti hitung dagang, jangan berharap untuk menuju Allah. Model persahabatan yang transaksional bermuara pada kepentingan. Bukan disandarkan kepada/ menuju Allah swt. Padahal sahabat harus memberi harapan minimal kepada sahabatnya.

Mengutip ujaran Bunda Teresa, “We want to create hope for the person. We must give hope, always hope”.

Dengan niat dan pelaksanaan bersahabat menuju Allah, agaknya kita mesti mahfum atas paham kesetaraan sesama mahluk ilahi. Bahwa tidak ada yang lebih mulia di hadapan Tuhan kecuali mereka yang bertaqwa. Manifestasi taqwa antara lain tampak manakala kita berbicara dengan menggunakan bahasa Allah (ciri keempat).

Semoga kita mampu dan dimudahkan Allah memperoleh sahabat yang mengajak kita menuju Allah. []

*Jamaah pengajian NU Cirebon.

Komentar