-dok
SUASANA malam Jumat Kliwon di makam keramat Sunan Gunung Jati.*
Oleh: Nurdin M Noer*
KETIKA berada di Mekah, Ki Cakrabhumi dan adiknya berguru kepada Syeh Abdul Yajid, dan mereka diberi nama haji oleh Syeh tersebut. Pada waktu itu pula Nay Larasantang diperistri oleh Maulana Sultan Mahkad atau disebut juga Syariph Abdullah, putra Nurul Alim dari wangsa Hasjim. Kemudian Nay Larasantang diberi nama Syariphah Mudaim, sedangkan kakaknya diberi nama Haji Abdullah Iman.
Pada waktu Syariphah Mudaim sedang mengandung sembilan bulan, bersama suaminya dia pergi ke Mekah. Di kota Mekah itulah dia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Syariph Hidayat. Setelah itu Haji Abdullah Iman kembali ke Pulau Jawa. Dia berhenti di Cempa dan berguru kepada Maulana Ibrahim Akbar, kemudian menikah dengan Nay Rasa Jati putri Syeh Maulana Jatiswara, ulama Islam yang terkenal di Campa.
Haji Abdullah Iman mengajarkan agama Islam kepada penduduk. Lama-kelamaan muridnya bertambah banyak, lalu dia mendirikan Masjid Jalagrahan dan rumah yang besar. Perkawinannya dengan Nay Retna Riris berputra seorang laki-laki yang diberi nama Pangeran Carbon yang kelak tanggal di Carbonghirang di pondok kakeknya, kemudian diangkat menjadi kuwu di Carbonghirang. Pangeran Carbon menikah dengan Nay Cupluk putri Ki Gedheng Trusmi dan dikaruniai seorang anak laki-laki yakni Pangeran Trusmi. Setelah Ki Gedheng Alang-alang meninggal, Pangeran Cakrabhumi dinobatkan menjadu Kuwu Carbon kedua dengan gelar Pangeran Cakrabhuwana.
Ketika kakeknya yang menjadi Ratu Singhapura meninggal, Pangeran Cakrabhuwana tidak menggantikan kedudukkannya tetapi beliau diwarisi kekayaan, lalu mendirikan Keraton Pakungwati. Mula-mula yang mengerjakannya balatentara Prabhu Siliwangi dari Keraton Pakwan Pajajaran, beliau menyambut gembira lalu memberi patanda kepada keraton putranya dan diberi nama Çri Mangana. Patanda itu dibawa oleh Tumenggung Jagabaya sebagai utusan sang raja. Adiknya Rajasengara ikut bersamanya, selanjutnya adiknya ini memeluk agama Islam, lalu pergi haji dan diberi nama Haji Mansyur. Haji Mansyur menikah dengan Nay Kalimah yang kemudian disebut Nay Gedheng Kalisapu.
Syariph Hidayat yang telah memperoleh nama Sayid al Kamil dari gurunya di Mekah, kemudian pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya berhenti di Gujarat dan Pasai. Di Pasai beliau tinggal di keluarganya yaitu Sayid Ishak yang pernah menjadi guru agama Islam di Blambangan. Setelah dua tahun berguru di sana, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Jawa dan berhenti di Banten. Di sini masyarakat telah banyak yang memeluk agama Islam yang diajarkan oleh Sayid Rahmat Ali atau Susuhunan Ampel.
Syariph Hidayat kemudian beliau pergi ke Ampel dengan menumpang perahu orang dari Jawa Timur, pada waktu itu seluruh wali Pulau Jawa ada di sana. Mereka masing-masing diberi tugas mengajarkan agama Islam kepada penduduk di wilayahnya yang masih menganut agama Siwa-Budha. Syariph Hidayat mendapat tugas di Gunung Sembung bersama uwanya Haji Abdullah Iman. Dipati Keling dengan pasukannya yang berjumlah 98 orang, telah diislamkan di Gunung Sembung oleh Syariph Hidayat. Selanjutnya beliau mendirikan pondok di sana.
Makin lama makin banyak masyarakat yang berguru agama Islam kepada Syariph Hidayat, ketika mengajarkan agama Islam di Babadan lalu Ki Gedheng Babadan bersama masyarakatnya memeluk agama Islam. Kemudian Syariph Hidayat menikah dengan putri Ki Gedheng Babadan yakni Nay Babadan, tetapi beberapa tahun kemudian Nay Babadan meninggal tidak berputra.(NMN/bersambung)***
*Pemerhati kebudayaan lokal.
Komentar