Puasa sebagai Upaya Peneguhan Akhlak

  • Bagikan

Oleh Doamad Tastier*

“INAMA bu’itstu li utamimma makarima al-akhlak.” Begitu yang tertulis dalam sebuah hadits tentang misi kenabian. Jaman jahiliah yang sering diterjemahkan akhir-akhir ini sebagai jaman kebodohan, nampaknya perlu ditinjau ulang. Pasalnya, dalam catatan sejarah Arab pra-islam, ilmu pengetahuan sudah cukup berkembang, terutama ilmu bahasa dan perdagangan. Orang-orang arab terkenal dengan keahlian mereka membuat sajak-sajak yang sangat indah. Selain itu kemahiran mereka dalam berdagang juga sangat diakui oleh dunia Arab pada saat itu. Hanya saja, sistem sosial mereka sangat jauh dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan: akhlak. Maka dimensi akhlak disempurnakan dengan diutusnya Nabi Muhammad.

Dalam perjalanan sejarah islam, banyak sekali kisah-kisah yang menceritakan akhlak mulia Nabi maupun para sahabatnya. Dan puasa adalah momen yang sangat tepat untuk merefleksikan kembali al-akhlaq al-islami kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Nabi Muhammad bersabda,”Idza kana yaumu shoumi ahadikum, fa la yarfuts wa la yashkhob. Fa in saabahu ahadun aw qotalahu, falyaqul inni sho’im.” Ketika kalian berpuasa, maka jangan berkata kotor dan membuat keributan. Jika ada yang mencelamu atau mengajakmu pada pertikaian, maka katakan, “Saya sedang berpuasa.”

Hadits ini tentu saja tidak membatasi akhlak-akhlak terpuji hanya pada bulan puasa. Namun mengajak kita untuk lebih menahan sikap-sikap tercela yang kadang tidak terkontrol di bulan-bulan selain romadon. Dimensi akhlak ini diharapkan, akan menjadi kebiasaan setelah romadon berlalu. Selain itu tentu saja, puasa merupakan latihan untuk mengasah empati dan altruisme kita.

Puasa sebagai mujahadah an-nafsi untuk menjadi manusia yang bertaqwa sebagaimana disebutkan dalam al-Baqoroh ayat 183 tidak bisa tercerabut dari dimensi akhlak sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sayid Abu Bakar al-Ma’ruf dalam kitab Kifayah al-Atqiya Wa Minhaj al-Ashfiya menyebutkan dalam bentuk sajak: Wa jihadu nafsi an tuzaki min rodzailiha wa tahliyati bi nuri fadhoila. Melakukan usaha dengan sungguh-sunguh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan cara membersihkan diri dari keburukan-keburukan jiwa (akhlak tercela) serta menghiasi diri dengan cahaya (akhlak) yang terpuji.

BACA JUGA:  Tantangan Pendidikan Islam pada Era Globalisasi

Sayid Abu Bakar lebih lanjut menyebutkan yang termasuk keburukan-keburukan yang ada di jiwa manusia adalah ujub, sombong, riya, hasud, marah, hawa nafsu, kikir, gila hormat, cinta dunia, menipu, dan banyak berangan-angan. Sedangkan diantara sifat yang menghiasi dengan cahaya akhlak adalah taubat, sabar, syukur, tidak putus asa, rasa takut kepada Allah, tawadu, wara’, ikhlas, zuhud, tawakal, welas asih, dan lain sebagainya. Secara ringkas cara ini disebut dengan takholli ‘an-shifati adz-dzamimah (mengosongkan jiwa dari sifat tercela) dan tahalli bi as-shifat al-hamidah (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji).
Wallahu a’lam bi as-Showab.[]

*Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta dan Pengajar di MA Sahid Bogor

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *