Polemik Bansos di Sistem Kapitalistik

  • Bagikan
Ilustrasi

Oleh: Tawati

(Muslimah Revowriter Majalengka, Member Writing Class With Hass)

Prosedur penyaluran bansos berupa pemberian BLT dari dana desa kepada masyarakat akibat wabah Covid-19 dinilai cukup panjang dan berbelit. Alhasil, implementasi penyaluran bansos di lapangan justru tidak terarah dan tumpang tindih.

Hal ini berpengaruh pada lemahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Padahal, dalam menangani wabah, haruslah ada kerja sama antara pemerintah dengan rakyat sehingga wabah segera dapat diselesaikan.

Dikutip laman Liputan6.com pada (30/4/2020), Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat Setiaji melaporkan, sebanyak 40.787 warga yang terdampak virus Corona Covid-19 mengadu terkait bantuan sosial (bansos). Aduan tersebut disampaikan melalui aplikasi Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar (Pikobar) hingga Selasa (28/4/2020).

Penyaluran dana BLT sebesar Rp600 ribu selama 3 bulan ini merupakan kebijakan penyesuaian untuk penanggulangan Covid-19 dari pengalihan dana desa. Sebesar Rp22 triliun atau sekitar 35 persen dana desa akan dialokasikan untuk kurang lebih 12 juta penduduk desa.

Besaran dananya jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pembatasan fisik. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemik dan ‘turun kelas’ menjadi miskin.

Skema BLT memang bukan satu-satunya dana bagi masyarakat untuk penanggulangan dampak wabah. Namun, mencermati jumlah masyarakat miskin yang begitu besar, jumlah tersebut nampak sangat jauh dari idealnya negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat.

Betapa tidak, rakyat harus menempuh mekanisme berbelit yang diciptakan oleh sistem hari ini untuk mendapatkan haknya. Dalam sistem kapitalistik hari ini, persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, data ganda, dan mekanisme berbelit.

BACA JUGA:  HUT Golkar ke-53, Golkar Kab. Cirebon Targetkan 35 Persen Suara di Pemilu 2019

Menurut surat No 1261 Kemendes-PDT, pemberian BLT dari dana desa, prosedurnya cukup panjang dan berbelit, yakni tertib administrasi dan punya rekening bank. Syarat utama, penerima BLT bukan penerima bansos dari kementerian lain.

Jumlah atau besaran dana yang dialokasikan negara untuk rakyat banyak seringkali mengusik rasa keadilan publik. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sektor perbankan, pariwisata, dan pajak pengusaha seringkali mendapat perhatian lebih untuk mendapat anggaran besar, karena dianggap sebagai wajah dan ukuran kekuatan ekonomi Negara. Tak terkecuali pada era krisis saat ini.

Bukankah pemerintah cukup besar gelontorkan dana untuk diskon tiket pesawat, beri insentif pajak pengusaha dan memberi stimulus industri keuangan (OJK)? Bukan hal yang sulit menganalisa bahwa modul pelatihan dari aplikator (pengusaha) di program Kartu Pra Kerja yang menyedot dana Rp5,6 triliun adalah wujud kebijakan tidak adil negara terhadap rakyat. Maka jangan salahkan jika rakyat menilai pemerintah pelit dan berbelit untuk memberikan hak rakyat. Jauh dari watak pemimpin dalam sistem yang memberlakukan Islam di bawah naungan khilafah.

Adanya polemik bansos semakin menunjukkan ketidaksiapan Negara Kapitalisme dalam menangani wabah Covid-19, sehingga akhirnya masyarakat menolak bansos yang diberikan karena prosedur yang berbelit-belit dan tidak merata.

Demikianlah cerminan negara gagal. Gagal memenuhi kebutuhan kalangan terdampak Covid-19. Jangankan memenuhi seluruh kebutuhan primer, mencukupi sembako selama wabah saja tak akan sanggup.

Pesan politis dari sang virus semestinya memberi kesadaran, bahwa kapitalisme hanyalah peradaban sampah yang tak mampu mengatasi masalah, bahkan pasti melahirkan masalah berikutnya.

Setiap orang mendambakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Karena itu, negara diharapkan hadir untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan setiap individu rakyatnya. Bahkan, terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merupakan cita-cita setiap negara.

BACA JUGA:  Dewan Ajak Sejumlah Pakar Bedah Soal Potensi Kearifan Lokal

Negara ideal ialah negara yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, sebuah negara disebut negara gagal ketika tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Indikator keadilan dan kesejahteraan ekonomi negara Khilafah tercermin dalam politik ekonomi Islam, yaitu penerapan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh negara untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Saatnya bagi masyarakat untuk menjadikan sistem alternatif yang mampu mengatasi krisis secara bermartabat, yakni Khilafah Islamiyah. Tidak cukup hanya mengimani janji Allah akan tegaknya negara tersebut, tapi turutlah jalan terjal untuk memperjuangkannya. Wallahu a’lam. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *