Oleh: Tawati
(Anggota Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) wilayah Jawa Barat keberatan dengan rencana pemerintah pusat menghapus keberadaan honorer, termasuk guru honorer.
Di Jawa Barat, proporsi guru honorer lebih banyak dibandingkan guru berstatus pegawai negeri sipil sehingga apabila guru honorer ditiadakan, maka kegiatan belajar mengajar akan terganggu.
Jumlah guru honorer di Jawa Barat mencapai 300.000 orang. Jumlah guru honorer lebih banyak dibandingkan dengan jumlah guru PNS sebanyak 200.000 orang. Di banyak sekolah di Jawa Barat, proporsi guru honorer pun lebih banyak dibandingkan dengan guru PNS. (Pikiran Rakyat, 23/1/2020)
Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Jika guru kurang, lantas kepada siapa para siswa belajar. Sebab, kondisi anak-anak (siswa) sudah sangat rawan dikelilingi musuh-musuh yang siap menghancurkan.
Guru honorer seharusnya tidak boleh dipandang sebelah mata atau ada pembedaan dengan guru ASN. Keberadaan guru honorer realitanya sangat membantu kinerja guru ASN.
Sungguh, negeri ini sudah masuk pada darurat pendidikan. Di tengah tingginya jumlah guru honorer yang terus berharap mendapatkan pengakuan sebagai ASN, pemerintah masih belum berhasil menjadikan para guru bebas dari beban-beban persoalannya.
Guru Honorer dianggap sebagai beban bagi pemerintah karena managemen korporatokrasi hanya memandang hubungan pemerintah dan rakyat sebagai hubungan antara penjual dan pembeli (untung-rugi).
Mereka tidak saja harus berjibaku menghadapi sulitnya kehidupan ekonomi karena minimnya honor. Namun, juga beratnya menghadapi tantangan kehidupan peserta didik jaman now yang tidak mudah.
Maka, tak heran jika masih banyak anak sekolah yang tawuran, pacaran hingga hamil, berbuat kriminal, menjadi korban kemajuan teknologi dan sebagainya. Itu semua tentu tak lepas dari faktor guru. Padahal, tentu tak ada yang menghendaki generasi ini rusak. Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan.
Masalah ini juga erat kaitannya dengan pandangan dan gaya hidup sang guru. Sistem kapitalis telah mencetak guru berpandangan kapitalistik. Sebagian besar mereka mengajar lebih didorong oleh kepentingan ekonomi ketimbang moral mendidik. Tidak banyak yang mau digaji dengan murah, apalagi tinggal dan hidup di masyarakat yang jauh dari hingar bingar kemajuan.
Sistem sekuler kapitalis telah menggeser fungsi mulia guru menjadi alat pengeruk sejumlah uang. Di sisi lain, para guru ini juga menjadi korban keganasan sistem kapitalis yang telah memiskinkan negara. Akibatnya, himpitan ekonomi dialami semua warga negara, termasuk para guru. Guru pun menggadaikan idealisme mendidik dengan sejumlah materi untuk menutupi kesulitannya itu.
Artinya, problem pendidikan ini tak akan lepas selama kemiskinan negara ada. Oleh karena itu, negara harus keluar dari kemiskinan ini. Jika sistem ekonomi kapitalis yang menjadi penyebab kemiskinan itu, maka negara harus menanggalkan sistem tersebut dan menggantinya dengan yang lebih baik.
Di samping itu, terpenuhinya jumlah guru tidak menjamin tuntasnya persoalan guru. Problem pemerataan, misalnya, bukanlah problem jumlah. Namun, ia merupakan masalah padangan hidup. Kegagalan mutasi guru ASN berpangkal dari pandangan sekuler kapitalis yang ada pada guru. Oleh karena itu, guru haruslah dibina dengan sistem Islam.
Ketika Islam menjadi pandangan hidupnya, maka ia akan mengabdikan dirinya untuk mendidik siswa di mana pun berada. Sebab, Islam sangat menghargai aktivitas ini. Pandangan seperti ini telah tergerus oleh sistem sekuler kapitalis yang dipegang kuat oleh masyarakat bahkan hingga sekolah-sekolah pencetak para guru. Maka kesahihan kurikulum pendidikan (pencetak) guru pun layak ditilik.
Betapa beratnya menata pendidikan dalam sistem sekuler kapitalis. Ini baru masalah guru, belum lagi kurikulum dan pengelolaan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, tak ada jalan lain melainkan harus mengganti sistem yang merusak ini dengan sistem yang terjamin ketangguhannya dalam mengelola pendidikan.
Sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam Institusi Pemerintahan Islam pada masa lalu mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru pun begitu besar. Sistem ekonomi yang tangguh mengantarkan negara memiliki anggaran cukup besar bagi pendidikan.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan, bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Sistem Pemerintahan Islam juga menjaga astmosfir keimanan masyarakat. Siapa pun akan menghargai profesi guru. Para guru menyadari betul tugasnya sehingga tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik, karena yang dikehendaki adalah kebaikan dari Allah SWT. Wallahua’lam. (*)