Oleh Doamad Tastier*
PADA medio sebelum tahun 2000, masa saya masih duduk di bangku SD, setiap hari jumat, tepat jam 11.00 berkumandang solawat yang dilantunkan oleh seorang sepuh yang pada saat itu sudah menginjak usia 70 tahunan. Bukan tadarus melalui rekaman seperti saat ini. Namanya Kanud. Kami biasa memanggilnya Ki Kanud. Sebutan ‘ki’ di sini bukan berarti bahwa dia adalah seorang Kyai yang mendalami ilmu agama, namun ‘ki’ di sini adalah sebutan penghormatan untuk orang yang dituakan. Ketika Ki Kanud sudah bersolawat, itulah tandanya kami, anak-anak, harus segera mandi. Kalau tidak, Emak saya akan langsung berteriak menyuruh saya segera bersiap solat jumat. Para petani yang sedang mencangkul di sawah langsung bergegas pulang dan bersiap-siap untuk solat jumat.
Sebagaimana sudah saya sebutkan, Ki Kanud sama sekali tidak melantunkan solawat dengan pelafalan yang fasih. Namun, dialah pelantun solawat tetap masjid kampung saya pada saat itu. Begitu juga pada saat adzan subuh, dia adalah muadzin tetap. Tidak hanya persoalan yang sudah disebutkan, untuk solat sekalipun pada saat itu kami masih melakukannya dengan riang gembira. Dalam artian kadang dilakukan dengan bercanda. Masjid adalah tempat solat, tempat bermain anak-anak serta para bapak-bapak bercengkerama selepas maghrib. Apakah pada saat itu tidak ada pemuda atau Kyai yang benar-benar mumpuni dan fasih melafalkan adzan dan solawat? Di Kampung saya banyak sekali santri-santri serta beberapa Kyai jebolan beberapa pesantren ternama. Tentu saja mereka lebih fasih dan mumpuni soal itu.
Nampaknya, bukan para Kyai tersebut tidak mampu mengoreksi kesalahan pelafalan bahasa arab, etika di dalam masjid atau tata cara solat sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitab keagamaan, namun mereka sadar bahwa ajaran-ajaran tersebut harus didakwahkan dengan cara yang bijak dan santun. Jika saja pada saat itu para Kyai dengan tegas melarang Ki Kanud untuk membaca solawat serta mengumandangkan adzan subuh, justru akan membuat dia serta orang-orang tua dengan kondisi sepertinya menjadi minder dan malah menjauh dari masjid. Begitu juga jika anak-anak dilarang bermain ke masjid atau mereka langsung menegur anak-anak serta para pemuda (bahkan orang tua) yang bercanda ketika solat taraweh, tentu dampaknya akan sangat buruk terhadap dakwah islam di kampung saya pada saat itu. Selain itu, mereka sangat paham perihal apa yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhamad dalam sebuah hadits, Ma nahaitukum ‘anhu, fa ijtanibuhu. Wa ma amartukum bihi fa’tu minhu ma istatho’tum. “Apa yang Saya (Nabi) larang, maka jauhilah. Dan apa yang saya (Nabi) perintahkan, maka lakukan semampu kalian.”
Kondisi masyarakat kampung saya pada saat itu memerlukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para Kyainya. Kemampuan serta pengetahuan agama para sesepuh belum sepenuhnya baik. Selain itu, keadaan kampung kami yang suka guyub dan guyon akan sangat susah didekati dengan metode-metode yang rigid. Sehingga membiarkan mereka beribadah dengan semampu mereka, menjadikan masjid tempat berkumpul membicarakan tentang harga bawang yang turun, atau tanaman sawah yang lagi diserang hama, serta anak gadis siapa yang lagi didekati anak lelaki siapa, sambil sedikit demi sedikit terus mengadakan pengajian keagamaan secara berkelanjutan adalah metode sangat cemerlang yang ditempuh oleh para Kyai kampung saya. Dan metode inilah yang digunakan oleh para Wali Songo pada jaman dahulu sehingga Islam bisa tersebar luas di Indonesia dengan damai. Metode dakwah seperti ini yang nampaknya mulai luntur dari kita saat ini.
Ki Kanud sudah wafat lebih dari lima belas tahun yang lalu (lahu al-fatihah), namun caranya membaca solawat memanggil orang-orang untuk solat jumat masih saya ingat sampai saat ini. Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad.
Wallahu a’lam bi as-showab.[]
*Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta.