-Dessi
WATU celek (kiri) dan makam cucu Syekh Siti Jenar, Datuk Pardun (kanan)
Oleh: Nurdin M Noer*
TAK ada yang tahu siapa pencipta monumen mini “watu celek” yang kini direkatkan pada sebuah situs di daerah Kramat (sebelah selatan Bank BJB) Kota Cirebon. Temuan filolog Oppan Raffan Hasyim menyebutkan, hanya ada satu manuskrip yang menjelaskan soal monumen mini tersebut, yakni “Sejarah Akhir Cirebon”(tanpa tahun penulisan). Dalam manuskrip tersebut dinyatakan, “watu celek” merupakan ejekan atau sindiran terhadap cucu Syekh Siti Jenar Datuk Pardun yang memiliki “birahi kekuasaan” yang sangat tinggi seperti kakeknya.
Oppan belum berani menyatakan, siapa pencipta monumen tersebut. Hanya saja dalam manuskrip tersebut dinyatakan, terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ratu sekira akhir tahun 1590an. “Jadi tidak benar, jika pencipta watu celek tersebut adalah Pengeran Arya Wira Celek, seperti yang diucapkan seorang budayawan yang kini telah mangkat,” katanya ketika ditemui dalam sebuah workshop sejarah dan budaya di Kantor BKPP Wilayah Cirebon Selasa (9/2). “Karena itu monumen watu celek saat ini dipancang di sebelah makam kuno Datuk Pardun.”
Dalam tradisi masyarakat Jawa dan Cirebon, pengekspresian jenis kelamin dengan simbol tertentu, bukanlah hal yang asing. Istilah “lingga” dan “yoni” adalah simbol seksualitas antara pria dan wanita. Demikian juga simbol ereksi lelaki seringkali disebut “lingga binangkit”, artinya bangkitnya nafsu seksual terhadap lawan jenisnya
Gambaran kelamin laki-laki yang tengah birahi sebenarnya merupakan simbol umum yang terdapat pada artefak-artefak kuno, seperti candi dan sitiinggil Keraton Kasepuhan. Penulis sendiri pada saat yang sama mengonfirmasikan kepada Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat. “Bagaimana, jika patung watu celek itu dipindahkan saja ke lingkungan sitiinggil Keraton Kasepuhan dan dipancang berderetan dengan patung lingga dan yoni?”.
Arief sendiri nampaknya tidak keberatan akan hal itu, karena antara watu celek sebagai lingga (zakar laki-laki) dan yoni (vagina perempuan) akan terasa pas, karena keduanya merupakan simbol kesuburan antara lelaki dan perempuan. Namun ketika penulis sendiri mengusulkan hal itu pada forum diskusi ditolak pemrakarsa sejarah dan budaya dari ITB Bandung, Ny.Yani. “Sebaiknya monumen tersebut tetap di tempat itu sebagai cagar budaya yang memiliki nilai sejarah.” (NMN)***
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.
Komentar