Tubuh Perempuan Pram dalam Bingkai Masa Lalu yang Koyak

Oleh MARWAH TIFFANI SYAHRI * 

SEBERAPA penting tema-tema perempuan menjadi bahan diskusi hari ini? Bagaimana pula dengan sejumlah karya Pram yang berisi catatan tentang kisah perempuan? Sehinggga komunitas sastra Lingkar Jenar membincangkan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer—Pramoedya Ananta Toer, pada Ngopi Sabtu Malam #3 (17/03/2018) di Mubtada Coffee Enthusiast Gang Kampus Jalan Perjuangan Cirebon?

Ya. Umar Alwi sebagai pemantik, memilih buku itu dalam makalahnya.

Tertulis dalam buku, pemaksaan perempuan muda Indonesia kepada hasrat seksual militer Jepang dengan cara bujuk rayu, intimidasi, hingga penculikan. Pramoedya Ananta Toer secara empatik membahas kisah getir perempuan yang tertimpa kekerasan baik fisik maupun psikis. Perempuan dalam novel ini digambarkan serba sulit dan tak bisa berontak.

Poin penting dalam makalah Umar Alwi menyebutkan, sedikitnya ada 200.000 remaja perempuan Indonesia diperdaya dan dibawa ke Jepang menjadi pelampiasan nafsu birahi militer selama Perang Pasifik. Ini bisa dipahami, rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan perempuan belia Indonesia saat itu juga jaminan kebutuhan ekonomi yang tidak memiliki harapan, menyebabkan mereka mudah diombang-ambingkan. Tidak ada kesadaran tentang independensi tubuh dan jiwa. Iming-iming material dengan mudahnya membeli dua modal paling berharga dalam rentang sejarah kemanusiaan.

Inilah yang dikenal dengan istilah “otoritas tubuh” yang ditegaskan Simone de Beauvoir. Mengembalikan otoritas tubuh sama halnya dengan membongkar-pasang kembali sikap mental atas tubuh perempuan dalam paradigma norma sosial yang berlaku di masyarakat. Seksualitas tubuh perempuan menurut Julia Kristeva telah melalui bermacam pengalaman bahasa, reflektif terhadap pengalaman naluriah menuju ke fase simbolik atau reflektif kepada sistem pengetahuan juga budaya. Sebuah kerangka domestifikasi telah dikonstruksikan untuk perempuan secara tidak langsung membentuk identitasnya melingkupi bahasa, habitus, seksualitas, dan relasi kuasa.

Merunut penelusuran Michael Foucault (1978) mengenai dialektika asimetris seksualitas dan kekuasaan, perempuan sebagai objek seksual masih gamang antar ars erotica (perempuan sebagai objek kesenangan privat seksual) dan scientia sexualis (perempuan sebagai subjek dalam wacana seksualitas). Dalam novel ini, penjajahan seksual masih berlangsung sampai sekarang, sebagai rahasia sosial yang laten dilakukan oleh bangsa sendiri. Pram membongkar kekejaman Jepang sebagai penjajah yang mengobrak-abrik rasa kemanusiaan.

Foucault via Haryatmoko dalam Sejarah Seksualitas, represi seks berlangsung lewat mekanisme kekuasaan dalam berbagai bentuk. Kapitalisme, misalnya, membutuhkan tubuh yang bisa dikontrol untuk produksi. Di sisi lain, kekuasaan juga membuat tubuh menjadi politis. Seksualitas juga menjadi situs ekonomi dan kampanye ideologi moral. Akhirnya, sebagaimana dikatakan Foucault, “Seks menjadi sasaran kekuasaan yang mengorganisasi diri di sekitar manajemen kehidupan, bukan lagi melalui ancaman kematian.”

Membaca silang-sengkarut fakta sejarah hingga kabar terakhir tentang perempuan hari ini, novel Pram seolah menegaskan kembali nasib perempuan yang masih saja menjadi komoditas. Kekejaman kemanusiaan seakan menjadi lazim dilakukan oleh struktur kuasa sosial. Lebih lanjut mengarah pada spirit Simone de Beauvoir–-perempuan makhluk berbeda dari laki-laki, dengan perbedaan itulah perempuan menjadi objek dan selama berabad-abad mengalami penindasan. Untuk membebaskan perempuan dari semua itu, Simone de Beauvoir mengajukan satu etika mementingkan kebebasan berpikir perempuan. Itulah kebebasan yang muncul karena terjaminnya kesetaraan di antara individu—sebuah kebebasan resiprokal dan interdependen. Perempuan cerdas ketika membalikkan posisi menjadi subjek atau bahkan mencari jalan alternatif lain keluar dari konteks subjek-objek seksualitas, kini terpinggirkan oleh kuasa sosial bahkan dipertanyakan keberadaannya.

Metamorfosis pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer kini terpecah dalam fenomena-fenomena kekejaman laten yang justru dilakukan oleh bangsa sendiri. Penjajahan dalam bentuk seksualitas dikembangkan oleh makelar-makelar tenaga kerja dan traficking. Pengkhianat bagi bangsanya sendiri.

Mengutip Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pemberontakan atau perlawanan terhadap penindasan mesti didasari dengan rasa cinta. Bukan untuk orang-orang tertentu tapi keseluruhan manusia, kepada kemanusiaan. Perubahan keadaan dari sarat penindasan hanya akan mendasari penindasan lain jika tanpa dasar kemanusiaan. Sebab menurut Bapak Pendidikan Kritis berkebangsaan Brazil ini, tidak semua yang tertindas dapat melakukan pemberontakan apalagi jika si tertindas merasa harga dirinya rendah, dan bergantung secara emosional terhadap penindas.

Salah satu jalan keluar paling mungkin adalah memberi jarak pada konteks masa lalu. Melepaskan emosi dari konteks sejarah yang tidak kita pahami, dan mulai memberi ruang tidak sebatas pembahasan perempuan sebagai objek hari ini, namun juga dengan tindakan untuk memutar posisi subjek-objek menjadi horizontal. Dikotomi subjek-objek seharusnya dikesampingkan, dan bahkan dibuang.

Dikotomi subjek-objek seksualitas pun terbahas dalam diskusi Ngopi Sabtu Malam #3 di Mubtada Coffee Enthusiast, bukan hanya dalam ranah seksual tapi juga wilayah domestik. Bagaimana kondisi domestik perempuan dalam stigma masyarakat yang berada pada kungkungan kuasa sosial, sehingga perlu dicari jalan keluarnya. Emosi empatik ini juga kemudian tertuang dalam novel Cantik itu Luka—Eka Kurniawan, yang tokoh utamanya seorang perempuan dalam cengkeraman militer yang melepaskan diri dari posisi objek menjadi subjek. Dan tidak terhitung karya fiksi lain yang menunjukkan bagaimana perempuan memaksimalisasi dirinya untuk tidak berada dibawah subordinat laki-laki.

Obrolan berkembang menjadi pembahasan mengapa buku-buku Pram ditarik dari  peredaran dan menyeret pengarangnya menjadi tahanan negara. Situasi politik orde lama yang sedang menutup akses dari terbukanya aib negara, menyebabkan setiap friksi dan gejolak sekecil apapun ditumpas. Di sisi lain, Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum terkait pesoalan ini ketika Asian Woman Found mengajukan mosi ke Mahkamah Internasional pada 1996 di Jenewa. Sanksi atas kekejaman tersebut baru terjadi pada momen serupa di Den Haag pada tahun 2001.

Forum ini juga membahas bagaimana nasib perempuan remaja korban kekejaman itu dibawa keluar Indonesia. Putusnya hubungan perempuan-perempuan itu dari keluarga juga bangsanya, dianggap terlanjur sebab Jepang tengah berada dalam masa pergolakan Perang Dunia II.

Kekejaman kemanusiaan ini tidak hanya terjadi di negara jajahan Jepang, tapi juga pada bangsanya sendiri. Militer Jepang mengeksploitasi Geisha saat Perang Dunia II.  Situasi berubah, Geisha yang pada mulanya dibayar ketika diundang, dieksploitasi habis-habisan. Sejarah, pada akhirnya, selalu menyisakan kisah tentang luka dan perilaku-perilaku keji para pemegang kuasa. (*)

*Penulis adalah pegiat sastra Lingkar Jenar pecinta Kopi Mubtada

Komentar