Oleh DADANG KUSNANDAR*
SERAGAM loreng, topi baret, badan tegap dan senjata di pinggang kanan ~dalam dunia kecil saya merupakan kekaguman tersendiri. Tentara sejak lembaga ini ada identik perang. Entah untuk pertahanan negara maupun misi perdamaian dunia.
Menjadi tentara dan berkarya di tengah kehidupan masyarakat tak ubahnya keinginan demi dan untuk sebuah eksistensi. Ketika melihat kakek mengenakan seragam loreng dengan warna dasar hijau, sabuk besar, sepatu lars, pisau komando dan pistol kecil ~terbayang betapa gagahnya.
Suatu saat saya pernah melihat dan memperhatikan kakek membersihkan pistol. Dalam keadaan kosong tanpa peluru bagian luar dalam pistol dibersihkan.
Saya baru paham bahwa pangkat ketentaraan kakek adalah sersan satu saat kelas enam SD. Padahal dalam joke sesama teman, ada istilah tengjen (tetangga jendral). Terbayang lagi seandainya pangkat kakek di ketentaraan adalah jendral berbintang.
Menjadi tengjen saja sudah demikian bangga. Tengjen bisa dijadikan tameng/ back up semu untuk memperteguh posisi eksistensi dalam pergaulan.
Dalam pengertian lain bisa saja tengjen ialah teman atau sahabat kita, meski berdomisili di luar kota atau luar pulau. Memiliki tengjen mengabaikan ungkapan lawan bicara dan seketika kita merasa besar kepala. Ironi. Namun tanpa sadar kita sesekali membanggakan tengjen, seolah tengjen itu mengenal dan memperhatikan kita.
Bicara tentara berdasar pelajaran sejarah ketika sekolah dasar tak lepas dari nama besar Jendral Sudirman. Juga kisah heroik Supriyadi pada Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar. Demikian pula sejumlah nama harum tentara manakala kuasa kolonial Jepang menjarah Indonesia.
Akan tetapi dalam perjalanan berikutnya, pergantian nama dari BKR ke TKR, Hizbullah di bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, APRA dengan pimpinan Westerling, bahkan Tjakrabirawa dan sebagainy: pada dasarnya adalah eksistensi lembaga ketentaraan. Tentu saja ini bukan tengjen.
Itu sebabnya berbagai nama disematkan. Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dan kini Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penamaan itu tentu saja situasional.
TNI paska reformasi 1998 terus berbenah dan mempercantik kemampuan internalnya. Alutsita yang teruji dan sesuai kemajuan jaman layak dipenuhi ketersediaannya. Mengingat wilayah geografis NKRI yang berbatasan dengan beberapa negara lain, alutsita TNI harus canggih dan modern. Pun menimbang geopolitik yang terus berdetak, kemampuan TNI otomatis mesti ditingkatkan.
Tulisan pendek ini didasari pada peringatan Hari Ulang Tahun TNI 5 Oktober 2017. Refleksi yang bisa dilakukan adalah ujaran Jendral Sudirman: Satu peluru untuk musuhmu dan empat peluru untuk penghianat. []
*) penulis lepas, tinggal di Cirebon‎.