Pembersihan Jiwa dari Hawa Nafsu

Oleh SUTEJO IBNU PAKAR*

JIWA termasuk ke dalam dunia spiritual, yang memberikan gambaran tentang Tuhan. Cermin dapat memantulkan realitas, dan jiwa pada awal aslinya adalah murni (salîm), “Setiap anak lahir dalam keadaan fithrah”, tetapi setelah bercampur dengan materi dalam dunia yang rendah ini, maka jiwa terjatuh dari tempat yang tinggi. Ibarat cermin menjadi suram demikian pula dengan jiwa yang asalnya murni, menjadi rusak. Kesuciannya telah ternoda oleh debu dosa yang merusaknya.

Tujuan dari seorang sufi adalah membebaskan jiwa dari belenggu-belenggu jiwa, memurnikan hati, memoles cermin, agar penghalang-penghalang antara jiwa dan Tuhan dapat dibersihkan, sehingga memungkinkan bagi jiwa untuk kembali pulang ke rumah asal yang sebenarnya. Pencarian jiwa menuju Tuhannya adalah yang terpenting dari sekian banyak bentuk pencarian. Jika seorang pencari Kerajaan Tertinggi sebagai tempat Kebahagiaan Abadi, memiliki beribu-ribu jiwa dan beribu-ribu kehidupan. Masing-masingnya seperti kehidupan dunia ini dan lebih panjang lagi serta digunakan semuanya untuk pencarian raksasa ini, masih tetap kecil. Apabila seorang telah sampai pada apa yang dicari, maka ia akan memperoleh hadiah yang jauh lebih besar dan lebih baik dari semua yang telah diberikan olehnya.

Target kedua dari pembinaan murîd Tarekat adalah pembersihan jiwa (tazkîyat al-Nafs). Pengajaran ini bertujuan untuk membersihkan nafsu lawwãmah dan syaithãniyah. Pembersihan jiwa dalam tardisi Naqsyabandîyah Bongas berupaya menggiring para murîd untuk dapat membebaskan diri dari pengaruh buruk nafsu-nafsu tersebut. Nafsu-nafsu tersebut harus dibakar, tidak dihilangkan sama sekali. Hal ini, hemat penulis, sesuai dengan tujuan sufi yaitu membebaskan jiwa dari belenggu-belenggu agar hijãb antara jiwa dan Tuhan dapat dibersihkan.
Akan tetapi dilakukan dengan cara dzirkullãh, baik secara perseorangan ataupun secara bersama-sama. Lafal atau kalimat dzikirnya adalah kalimat thayyibah.

Apabila telah melalui tahapan takhallî dan tahallî, maka dalam diri manusia akan terbentuk jiwamuthma’innah, yakni jiwa yang siap menerima tajallî Tuhan, atau takhalluq bi Akhlãq Allãh. Pada tahap ini setiap perilaku lahiriah manusia merupakan realisasi penghayatan terhadap akhlak Allah. Dengan demikian proses takhallî yang berlanjut ke proses tahallî akan melahirkan pribadi-pribadi murîd tarekat, yang dapat memberikan manfaat tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi prang lain dan kehidupan lingkungan di sekitarnya. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *