Muara Jati

Oleh HABIL AHMAD MARZUKI*

MUARA Jati adalah sebuah nama desa nelayan yang begitu masyhur di kalangan para pedagang dan pebisnis kawakan nusantara dan manca Negara. Muara Jati menjadi centra perdagangan pada abad ke-14, menurut buku sejarah Purwaka Caruban Nagari.

Di Muara jatilah tempat bertemunya para pedagang besar dan saudagar kaya. Mereka melakukan transaksi perdagangan dalam jumlah yang besar. Ternyata menurut catatan buku Carita Purwaka Caruban Nagari tersebut, penduduk setempat memiliki peranan penting dalam mengendalikan perputaran ekonomi kawasan Muara Jati tersebut. Mereka bukan hanya terlibat secara langsung dalam perdagangan tetapi juga memiliki peran penting dalam mengendalikan sirkulasi bisnis di sana.

Muara Jati menjadi pelabuhan yang memiliki peran penting dalam mengatur ritme perekonomian di wilayah sekelilingnya, bahkan kebijakannya mampu mempengaruhi surplus barang dagang pada wilayah yang berbeda.

Sumber lainnya mengatakan bahwa Muara Jati juga memiliki aktivitas keagamaan yang semakin berkembang pesat, karena kunjungan perdagangan yang dilakukan oleh banyak pihak di pelabuhan tersebut. Tidak sedikit masyarakat Arab, India, China dan bangsa-bangsa lainnya yang berusaha berdagang sambil menyebarkan ajaran agama yang dianutnya. Namun, nampaknya ajaran Islam dianggap lebih menarik dan sesuai dengan kultur masyarakat setempat. Sehingga tidak aneh jika kita akhirnya menemukan sebuah fakta bahwa Agama Islam lebih berkembang di Muara Jati tersebut.

Kerajaan Padjajaran adalah sebuah kerajaan besar yang memiliki kendali dan otoritas penuh atas pelabuhan Muara Jati tersebut. Ki Gede Alang-alang ditunjuk secara langsung oleh pemerintah kerajaan Padjajaran untuk mengendalikan Pelabuhan Muara Jati. Dengan kemampuan manajerial dan pengaruh kerajaan Padjajaran yang kuat, Ki Gede Alang-alang mampu mengembangkan Pelabuhan Muara Jati menjadi central perdagangan dunia.

BACA JUGA:  Pencuri Motor Guru Honorer Ditangkap Polisi

Seiring dengan perkembangan bisnis di kawasan Muara Jati, Ki Gede Alang-alang memindahkan pemukiman penduduk di wilayah Lemahwunngkuk, sekitar 5 KM sebelah selatan Muara Jati. Menurut ahli sejarah, TD Sujana, di sela-sela penelitian dengan orang Jerman beliau mengatakan bahwa Lemahwungkuk menjadi cikal bakal pemukiman penduduk di Cirebon.

Maka jadilah Lemahwungkuk sebagai pemukiman baru dengan Ki Gede Alang –alang sebagai penguasa pemukiman baru tersebut dengan gelar Kuwu Cerbon atau Mbah Kuwu Cerbon. Padahal posisi Lemahwungkuk ini berada di kaki Bukit Kerajaan Galuh yang lumayan besar dan memiliki kekuasaan wilayah hingga ke pemukiman baru yang disebut Lemahwungkung tersebut.

Pemukiman Lemahwungkuk yang terkoneksi dengan jalur perdagangan Pelabuhan Muara jati tersebut terus mengalami perkembangan dan semakin ramai dengan penduduk baru dan perdagangan yang terus menggeliat. Lemahwungkuk pun membutuhkan perlindungan yang lebih kuat guna menjaga stabilitas perekonomian dan kenyamanan penduduknya. Maka ditunjuklah Pangeran Walangsungsang putra Prabu Siliwangi sebagai Adipati di wilayah Lemahwungkuk yang kemudian di sebut dengan Cerbon dengan kuwunya bernama Ki Gede Alang–alang.

Adipati Cerbon, Pangeran walangsungsang ini bergelar Cakrabumi. Di bawah kendali Adipati Cerbon dan Kuwu Cerbon maka Cerbon terus mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga memiliki wilyah perdangan ke Tanggerang dan Jakarta. Melihat perkembangan pengarus administrasi Pelabuhan Muara Jati dan perkembangan penduduk di wilayah lemahwungkuk, maka Pangeran Walangsungsang memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang disebut dengan Kerajaan cerbon.

Pembentukan kerajaan ini dibarengi dengan penolakan Raja Walangsungsang untuk memberikan upeti kepada kerajaan Galuh. Tentu saja sikap ini mendapatkan perlawanan yang sengit oleh kerajaan Galuh, hingga sang Raja harus mengirimkan bala tentara kerajaannya untuk memporakporandakan Cerbon. Startegi penyerangan pun disusun oleh kerajaan galuh begitu pula dengan Raja Walangsungsang dengan kerajaan Cerbonnya.

BACA JUGA:  Kotaku: Reorientasi Pembangunan Kota Cirebon

Walhasil pertempuran pun terjadi di kisaran abad ke-14 tersebut dengan hasil yang sangat mengejutkan hati Raja kerajaan Galuh. Karena kerajaan Cerbon ternyata sudah memiliki kekuatan armada perang yang cukup memadai, sehingga kerajaan Galuh tidak mampu menaklukkan kerajaan Cerbon.

Pangeran Walangsungsang semakin berani meresmikan berdiriya kerajaan Cirebon. Kemenangan dalam pertempuran melawan Kerajaan Galuh digunakannya sebagai momentum untuk mempublikasikan secara terang-terangan akan eksistensi Kerajaan Cirebon dengan Rajanya Pangeran Walanngsungsang. Beliau mendapatkan gelar Cakrabuana.

Kerajaan Cirebon yang bercorak Islam dengan tidak meninggalkan kultur masyarakat setempat mengalami perkembangan yang amat pesat. Kerajaan Cirebon menjadi sebuah kerajaan yang mampu diterima oleh banyak kalangan. Hal tersebut diperkuat lagi dengan perdagangan dan Jasa di wilayah Cirebon berkembang, dengan pelabuhan Muara Jati sebagai landmark perdagangan di wilayah kawasan Asia Tenggara. Lalu lintas perdagangan, budaya dan agama semakin terasa kental di kawasan kerajaan Cirebon ini. Asimilasi budaya dan agama menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari seiring dengan perkemangan Kerjaan Cirebon yang semakin mempesona ini. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *