Oleh Dadang Kusnandar*
SELINTAS kenangan tentang Desa Cipondok sesaat membayang di pelupuk mata. Desa yang berada di wilayah Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan tepatnya pada tahun 1973. Ada lintasan peristiwa menarik menyangkut beberapa hal mengenai desa: rimbun pepohonan, air jernih di sungai Cijangkelok yang dipenuhi bebatuan besar, dan terutama keakraban masyarakat desa tersebut.
Rumah leluhur berada dekat sekali dengan Sungai Cijangkelok, hanya sekira 20 meter. Ada sebuah makam Rd. Soengeb (wafat tahun 1946, kalau tak keliru) pada bangunan kayu seukuran 4×4 meter berlantai tegel abu-abu, beratap genting cukup kokoh. Makam itu terletak di tengah bangunan. Rupanya hal itu untuk mempermudah dan memberi kenyamanan kepada keluarga yang mendoakan Rd. Soengeb.
Dibanding rumah keluarga penunggu makam keramat yang bernama Mbah Emih (di tahun 1975 saja beliau berusia sekira 60-an tahun), bangunan makam Rd. Soengeb nampak lebih bagus. Rumah Mbah Emnih dominan dari bambu dan masih berlantai tanah, beratap rumbia. Pintu dan jendela pun dari bambu. Saya mendengar cerita dari ayahanda bahwa Rd. Soengeb termasuk salah seorang ustaz ngaji bagi masyarakat Desa Cipondok. Wajar jika pusaranya disinggahi orang dari mana-mana.
Ingatan selintas tentang Desa Cipondok yang tetap bermukim erat ialah air jernih di Sungai Cijangkelok. Untuk turun ke sungai harus hati-hati karena tanahnya licin saat hujan. Air sungai itu dimanfaatkan oleh warga desa untuk segala keperluan rumah tangga. Mandi, cuci dilakukan warga di sungai itu. Tetapi saya tidak melihat orang buang air besar (BAB) serta seekor kerbau yang mandi. Entah ada larangan melakukan dua kegiatan itu, atau memang karena saya hanya dua malam menginap di sana, sehingga tidak sempat mengetahui. Yang pasti kata kakek saya (sambil guyon), perempuan Desa Cipondok terbilang cantik dan berkulit kuning langsat. Jadi jika ingin melihat perempuan cantik sedang mandi di Sungai Cijangkelok, “ya ngintip lah saat sore atau pagi hari,” ujarnya dengan nada bercanda.
Pembangunan fisik nampaknya belum banyak menyentuh desa Cipondok saat itu. Jalan desa yang beraspal buruk, bahkan relatiif lebih banyak belum beraspal alias masih berupa batu. Akan tetapi rimbun pepohonan menjadi pemandangan indah yang menyedapkan mata (qurata `ayunin).
Lantaran kondisi jalan yang kurang mendukung, ketika pulang ke Cirebon kami naik pedati beroda rel kereta api yang biasa digunakan untuk memuat tebu saat Pabrik Gula Babakan berproduksi. Saya lupa berapa lama perjalanan naik pedati beroda rel itu. Di bagian depan pedati itu, ada dua alat kemudi dari kayu yang digerakkan oleh dua orang. Setelah pedati menggelinding, dua lelaki pengemudi loncat masuk ke dalam pedati yang sudah penuh berisi penumpang. Tak urung gerakan loncat itu menubruk penumpang yang berada di pedati. Tapi kami semua menertawakan kejadian itu.
Silaturahmi
Cipondok 41 tahun yang lalu menampakkan desa asri dengan berbagai spesifikasi pedesaan, sebagaimana kerap dilansir media. Spesifikasi yang paling dominan adalah sikap masyarakatnya dalam hal silaturahmi. Dapat dibayangkan, selesai melaksanakan salat dan mendengar khotbah Idul Fitri di masjid desa, para jamaah bersalaman di dalam hingga keluar masjid. Sebagai warga pendatang, tentu saja bersalaman dengan sesama jamaah merupakan hal unik. Unik lantaran warga desa berdiri berbaris berbanjar di depan rumahnya untuk bersalaman dengan kami yang baru pulang dari masjid. Maka sepanjang perjalanan dari masjid desa hingga ke rumah leluhur, entah berapa tangan saling bersalaman sambil saling melempar senyum dan mengucapkan, “Minal `aidin wal faidzin. Mohon maaf lahir batin”.
Bandingkan dengan kondisi sekarang, banyak jamaah salat Idul Fitri yang enggan mendengarkan khotbah sang khatib. Selesai salat Id dua rakaat, jamaah bubar. Jangankan bersalaman di area pelaksanaan salat Id, terlebih melihat masyarakat berbaris di depan rumah untuk bersalaman dengan sesama muslim.
Pertanyaan yang muncul, apakah pola silturahmi telah bergeser ke arah yang lebih praktis? Misalnya melalui media sosial atau pesan pendek (sms), sehingga tidak berjumpa sambil bersalaman. Bahkan seorang kawan menyebut silaturahmi di zaman kini telah bergeser menjadi transaksi. Dengan berolok dia mengatakan, “Dari silaturahmi transaksi ini tak jarang melangkah lagi menjadi hubungan pragmatis atau mutualis”.
Tentu saja sebagai muslim kita tidak ingin menggeser substansi silaturahmi menjadi transaksi. Bukankah transaksi lebih mengesankan sebuah proses ekonomi yang (mungkin konsumtif) dan cenderung mengurangi rasa ikhlas?
Kendati demikian sejak komunikasi semakin mudah dalam genggaman, melalui telepon genggam, banyak kaum muslim Indonesia malas bersilaturahmi secara langsung (tatap muka). Pesan pendek dan berbagai media sosial mengalahkan silaturahmi tatap muka. Padahal kita semua yakin, tatap muka mengalahkan model silaturahmi mana pun.
Saya juga teringat akan model silaturahmi Kang Ayip Usman (alm) pengasuh Pondok Pesantren Kempek Kabupaten Cirebon. Beliau sering mengundang kerabat dan kolega untuk makan di pondoknya. Ketika ditanya, “Wonten acara punapa Kang Ayip?”. Sponton beliau menjawab, “Makan!”. Pada acara makan itulah, silaturahmi terbangun. Banyak hal bisa dibicarakan pada tatap muka.
Pada suasana yang masih fitri, ini ada baiknya kita merenung kembali beberapa hal yang (mungkin saja) telah hilang dan semakin menjauh dari kehidupan kita. Taqabalallahu mina wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum. Taqabal ya kariim. Minal `aidin wal faidzin.[]
*) Sekretaris Majelis Kesehatan dan Sosial Muhammadiyah Kota Cirebon.
Komentar