Gang Asmi Cirebon

Oleh DADANG KUSNANDAR*

Banyak cerita yang mestinya kausaksikan.

di tanah kering bebatuan

 (Ebiet G. Ade)

KEDAULATAN rakyat bukan lolong sunyi seorang bisu. Juga bukan tong kosong nyaring bunyinya. Kedaulatan rakyat pun bukan semata-mata hasrat mendahulukan dan atau menuntut terlaksananya segala kebutuhan rakyat dengan tata cara yang bertentangan dengan peraturan serta sistem perundangan yang berlaku di dalam negara. 

Sudah menjadi rahasia umum manakala suara rakyat identik suara bersama pada satu tujuan, yakni terselenggaranya pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Artinya berpegang pada demokrasi, tidak melanggar sistem nilai dengan dalih keberpihakan terhadap suatu golongan tertentu mengatasnamakan rakyat.

Lahirnya pertanyaan menggelikan, “rakyat yang mana” tak lama paska 1998 lalu menandakan betapa pemahaman menyoal definisi rakyat telah terelaborasi kepentingan subjektif. Di samping ada muatan keterpisahan antara rakyat dengan bukan rakyat, sinyalemen ini jadi penanda belum terjalin komunikasi politik yang sinergi bagi kedaulatan rakyat.

Itu sebabnya butuh kesungguhan upaya penyadaran serta kebersamaan permanen mendudukkan kedaulatan rakyat yang dibangun oleh sosialisme kerakyatan. Dan partai politk yang berhasil memposisikan kedaulatan rakyat, tidak lain adalah Partai Sosialis Indonesia (PSI). Itu sebabnya pula butuh sekretariat sebagai aset partai disertai kejelasan status kepemilikan. Sekretariat bukan semata-mata bagai rumah singgah untuk melepas lelah. Melainkan rumah bersama guna memformulasi gagasan/ ide ke kehidupan sosial.

Gang Asmi Kelurahan Panjunan Kecamatan Lemahwungkuk Cirebon di tahun 1954 merupakan contoh nyata dan wujud kedaulatan rakyat. Berbekal iuran anggota PSI secara berkala dan sumbangan tidak mengikat, membeli tanah dan bangunan di Gang Asmi. Rumah berukuran kecil dengan total tanah seluas 356 m2 dibeli dengan bukti selembar kuitansi yang ditandatangani Suwatma selaku Sekretaris PSI. Ketua PSI Cabang Cirebon ketika itu ialah Danu. Tanda kepemilikan aset itu dikukuhkan oleh surat Persil 8E, Letter C Nomor 409 Kelas D.IV yang dikeluarkan oleh kantor Agraria.

Inilah kehebatan PSI hingga memiliki Rumah Kedaulatan tanpa mengandalkan uang yang bersumber dari anggaran negara. Sesuatu yang patut ditiru oleh seluruh partai politik. Mengingat bahwa manifestasi kewajiban menyebarkan ide dan gagasan harus berpangkal dari person internal yang tergabung pada komunitas yang sama. Dengan demikian komunikasi politik secara langsung terkoneksi kepada rakyat.

BACA JUGA:  Jaga Kelestarian Alam, Bhabinkamtibmas Polsek Bantarujeg Bersama Warga Tanam Pohon

Dari Gang Asmi kedaulatan rakyat ditanamkan kepada masyarakat sekitar. Tak pelak pula ketersebaran ajaran sosialis menjangkau lokasi lain yang jauh dari Gang Asmi. Lazimnya ideologi yang menembus batas geografis mana pun. Terbukti cukup banyak warga keturunan Arab yang mukim di Cirebon menjadi pegiat PSI saat itu. Sebut saja misalnya Ami Aca, Saleh Said, dan sebagainya.

Kisah pun berlanjut. Rumah yang bisa bernama Rumah Kedaulatan Rakyat, Rumah Sosialisme Kerakyatan dan sebagainya  ~menjadi senyap usai pembubaran PSI oleh Presiden Soekarno. Kendati Sutan Syahrir (Pendiri PSI) dipercaya SoeKarno menjadi Pedana Menteri pertama Indonesia. Keberadaan rumah Gang Asmi diketahui antara lain oleh Sukanda  –satu dari trio pembawa teks proklamasi Indonesia di Cirebon 15 Agustus 2017 bersama Sugriwa dan dr. Soedarsono– memperkuat proses penyadaran kedaulatan rakyat.

Seiring perjalanan waktu, para sesepuh PSI Cirebon berpulang ke haribaan Tuhan. Rumah Gang Asmi pun berubah fungsi. Generasi kedua Suwatma bertingkah nakal, berkas kepemilikan Sekretariat Gang Asmi alias Rumah PSI diklaim seakan-akan sebagai warisan kakeknya. Ulahnya bahkan berlebihan. Ia menyewakan Rumah Gang Asmi kepada pedagang, penyewa diperbolehkan membangun rumah tambahan yang menempel dari dinding rumah utama. Sempat pula halamannya digunakan bagi olah raga bulu tangkis, garasi penyimpan mobil ambulance dan lain-lain. Bentuknya pun sekarang menjadi kumuh dan tidak terawat.

Namun sepandai-pandai tupai melompat akhirnya gagal juga. Pepatah lama ini menimpa generasi kedua keturunan Sekretaris PSI Cabang Cirebon tahun 1954. Meskipun sudah berkali dibahas menyoal kepemilikan Rumah Gang Asmi ketika Suherman Sukanda alias Aseng, Soekardi yang pernah menjadi Anggota DPRDGR Cirebon, Mas`ud alias Samud  (pendiri Pemuda Pancasila Cirebon). Rasta Ciledug. Jamhari Losari. Udi Waled masih ada, akan tetapi kejelasan status kepemilikan tanah dan bangunan PSI di Gang Asmi secara sah menurut hukum terealisasi pada  hari Selasa 6 Desember 2016.

Putusan tersebut  dibacakan oleh Majelis Hakim dalam sidang terbuka untuk umum Pengadilan Negeri Kota Cirebon. Proses persidangan tersebut dimulai sekitar bulan Agustus 2016.

Pelaku yang berjasa besar menyoal pengembalian atas kepemilikan tanah dan bangunan Gang Asmi ialah generasi kedua dan ketiga PSI, juga kawan-kawan ideologis yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon dengan bantuan 9 (Sembilan) lawyer. Menarik untuk disimak, banyak dari sembilan orang penasihat hukum itu bermula dari kebersamaan ketika menjadi anggota dan pengurus Gemsos Cirebon.

BACA JUGA:  Bawaslu Kota Cirebon Lakukan Pemetaan Calon Pengawas TPS

Keberhasilan mengembalikan status kepemilikan Rumah Kedaulatan Rakyat alias Rumah PSI di Gang Asmi merupakan penanda yang nyata, bahwa siapa pun kita dan apa pun status kita di organisasi: Jangan sekali-kali mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hal ini dapat diperluas pada beberapa masalah bangsa ketika kini semakin banyak orang merebut milik orang banyak tanpa rasa bersalah. Milik dimaksud meliputi materi dan immateri, finansial dan non finansial, dhohir maupun batin.

Milik orang banyak berupa immateri yang direbut kepemilikannya adalah kedaulatan rakyat. Rakyat yang mestinya paham makna kedaulatan demi dan untuk tercapainya kesejahteraan bersama guna menegakkan ajaran sosialis sebagai unity penting nasionalisme, patriotisme, seketika terkontaminasi. Entah ke mana kedaulatan rakyat itu kini berada.

Periodesasi jaman seolah menggiring rakyat hanya kepada satu pemenuhan akan kepuasan materi. Kapitalisme yang kerap dilawan sejak dulu, hegemoni  ekonomi yang menjungkirkan rakyat ke tubir gelap, semakin  meraja manakala kedaulatan rakyat perlahan lenyap. Celakanya, rakyat bagai tak sadar dan tak merasa kehilangan. Sebaliknya yang terjadi saat ini. Globalisasi dengan pemahaman keliru dirujuk jadi penguat tumbuh dan berkembangnya kapitalisme berbasis kroni. Ke manakah kedaulatan rakyat? Kita lah yang mesti memposisikannya secara proporsional agar sejahtera lahir batin tercipta di segala lapis masyarakat.

Agus Tanzil Syahruzah alias Ibong, cucu pahlawan nasional H. Agus Salim, Ketua Umum PSI sekarang, tentu saja semakin tersulut semangatnya merealisasikan pembentukan partai. Biarlah PSI kini belum jadi partai resmi mengingat masih beratnya persyaratan pembentukan partai politik di Indonesia.

Namun demikian partai yang punya komitmen mendasar yakni menjunjung tinggi proses penyadaran kedaulatan rakyat terus beusaha keras menyebarluaskan ide dan gagasan sosialisme ke tengah kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain Rumah Gang Asmi jadi kunci pertama pembuka pengembalian aset PSI di seluruh wilayah Indonesia. Kisah lanjutan atas letupan kegembiraan ini tentu saja bukan kerja gampang. []

*) Penulis lepas dan Anggota PSI, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *