Oleh DOAMAD TASTIER*
Beberapa hari yang lalu saya merasakan jengkel yang luar biasa. Pasalnya, beberapa buku hancur dimakan rayap. Hancur dan tidak bisa dibaca lagi. Buku-buku di rak kamar rumah orang tua di Cirebon memang sudah jarang dibuka dan dibaca. Beberapa memang saya buka dan baca ulang ketika saya pulang ke Cirebon, beberapa tidak pernah lagi saya baca sejak buku itu nangkring di rak buku tersebut. Nahas ketika mendekorasi ulang kamar dan menata ulang buku-buku tersebut, saya temui beberapa isi buku sudah habis dimakan rayap. Pada saat itulah saya merasakan daya rusak rayap yang sesungguhnya.
Kerugian yang saya alami tentu saja hanya kerugian kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang pernah dialami sebuah peradaban dengan dihancurkannya buku-buku bukan oleh rayap, tetapi sengaja dihancurkan dan dibakar oleh kelompok-kelompok tertentu. Dalam film Agora yang menggambarkan pertentangan antara kaum filsuf dengan kalangan Gereja akhir abad ke-4 M di Alexandria yang pada akhirnya menghancurkan Agora sebagai perpustakaan dan pusat pengkajian ilmu pengetahuan. Buku-buku dibakar. Agora sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan berubah menjadi kandang ternak. Kekalahan kaum filsuf berimbas pada kehancuran pusat peradaban. Tak satupun karya-karya cemerlang pada saat itu bisa diselamatkan.
Pada saat perang salib terjadi beberapa periode, buku-buku dibakar. Penaklukan Konstantinopel yang dipimpin oleh Muhamad Al-Fatih juga melakukan pemusnahan terhadap koleksi buku-buku di perpustakaan. Bangsa Mongol menghancurkan Baghdad sekaligus membakar buku-buku cemerlang baik karya sarjana Muslim maupun karya-karya cendikia Yunani. Di Aceh karya-karya penganut wujudiah di bakar di depan Masjid Baiturahman. Dari sini dapat dilihat bahwa penghancuran buku-buku sebagai hasil karya akal budi manusia bukanlah peristiwa biasa, ia merupakan peristiwa kemanusiaan. Ia merupakan peristiwa yang berusia kuno dalam sejarah peradaban manusia.
Perang-perang yang terjadi saat ini juga masih menargetkan perpustakaan serta pusat perdaban lain sebagai sasaran penghancuran. Maka tidaklah mengherankan ketika Prof. Oman Fathurahman, seorang filolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menghawatirkan akan terjadi penghancuran naskah-naskah serta buku-buku berharga lainnya ketika Marawi dikuasai oleh ISIS. Rayap menghancurkan buku hanya demi melangsungkan kehidupannya. Namun penghancuran buku yang dilakukan manusia melampaui itu semua. Ia merupakan ajang pertarungan ide-ide serta penguasaan dominasi kebudayaan tertentu. Hal ini mempunyai motif bervariasi dan konsekuensi yang sangat besar terhadap peradaban manusia.
Buku sebagai penyimpan gagasan ide serta alat transformasi pengetahuan sampai saat ini belum bisa tergantikan dengan media lain. Meskipun dengan upaya digitalisasi buku sekalipun. Karena selain sebagai alat transformasi, buku sendiri mempunyai nilai historis tersendiri. Buku, secara fisik, menjadi sangat penting dalam kaitannya sebagai penjaga memori peradaban manusia. Memusnahkan buku, adalah memusnahkan ingatan dan peradaban manusia itu sendiri. Sebagaimana Milan Kundera pernah berucap bahwa untuk menghancurkan sebuah peradaban bangsa cukup dengan menghilangkan ingatan bangsa tersebut, serta pemusnahan buku dan kebudayaannya. Maka penghancuran buku, dengan berbagai macam derivasinya, seperti pelarangan penerbitan, peredaran serta diskusi dan pengkajiannya bukanlah peristiwa yang sepele. Ia merupakan musibah bagi peradaban manusia sendiri. Wallahu a’lam bi as-showab. []
*Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta.