Trotoar

Oleh DADANG KUSNANDAR*

DI London, Inggris, alkohol dijual bebas. Tapi jika sampai muntah (jackpot) di jalanan, siap-siap kena denda 50 poundsterling.

“Nanti ada polisi tiba-tiba mendatangi kita dan didenda. Kita diberi semacam kartu pelanggaran,” kata seorang mahasiswa asal Indonesia.

Berita ini saya kutip dari detik.com bulan Juli 2014. Tersiar kabar bahwa kota tua dan bersejarah itu pada awal abad ke-20, menjadi kota terkotor di dunia.

Saat itu warga London biasa membuang kotoran manusia di depan rumah. Kotoran dibungkus dan dilempar ke jalan, bercampur dengan kotoran kuda, sebab belum ditemukan kloset. Saking joroknya, virus kolera menjadi ancaman serius dan mematikan banyak warga. Setelah ditemukan kloset, perlahan London semakin bersih.

Pada sebuah senja, saya berjalan meniti trotoar Kota Cirebon. Jalan kaki saya anggap menyehatkan dan berbau olah raga. Tulisan ini tidak membahas olah raga, melainkan trotoar. Menurut artinya, trotoar ialah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki.

Berjalan kaki di Kota Cirebon meniti trotoar ternyata tidak nyaman. Pertama, hampir tidak ada ruang bagi pejalan kaki. Trotoar dipadati pedagang kaki lima, dijadikan tempat parkir motor, menyimpan barang untuk diangkut ke dalam kendaraan bak terbuka/ tertutup, dan sebagainya. Alhasil, hobby yang cukup menyenangkan itu (jalan-jalan meniti trotoar) cukup lama tidak dilakukan lagi. Entah mengapa, orang lebih menghargai pengguna kendaraan bermotor daripada pejalan kaki.
Menyeberang jalan terasa jadi lebih sulit lantaran padatnya lalu lintas dan tidak diberikannya ruang untuk menyeberang. Pengguna kendaraan bermotor asik dengan kecepatannya.

Dengan kata lain porsi pejalan kaki menyempit. Relatif pejalan kaki identik orang yang tak beruang, maka mereka “layak” dipinggirkan. Padahal merujuk Peraturan Daerah Kota Cirebon No. 9 Tahun 2003 Tentang Ketertiban Umum, utamanya pada Pasal 10 ayat 6 yang berbunyi, “Dilarang bagi setiap orang/ warga: a. melakukan usaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha (di atas trotoar, di atas bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap).

BACA JUGA:  Diduga Banyak Oknum Bermain, Warga Kuningan Minta Rincian Biaya Pembuatan SIM

Perda yang telah ditetapkan cukup lama itu nampaknya tidak efektif. Pemerintah daerah berhadapan dengan berbagai persoalan atas nama wong cilik. Orang kecil yang dengan sadar menggunakan tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha sebagai lokasi usaha. Trotoar salah satunya.
Selain digunakan bagi tempat usaha, beberapa plang iklan pun memadati trotoar. Lebih semarak lagi ketika musim politik tiba.

Trotoar yang pada mulanya diperuntukkan bagi pejalan kaki telah hilang esensinya. Yang ada ialah pemandangan kurang asri sepanjang trotoar, lantaran disfungsi trotoar yang dilakukan secara sadar. Toko-toko yang di depannya berbaris sejumlah PKL pun turut kehilangan keindahannya. Termasuk calon pembeli mengalami sedikit kesulitan tatkala hendak masuk ke toko tersebut.

Taat Hukum

Saya tidak bertendensi melarang siapa pun untuk berusaha. Tidak pula punya kuasa melarang berjualan di mana saja. Namun demikian sebaiknya usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup harus tetap berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku. Seandainya trotoar di Kota Cirebon tepat peruntukkannya maka upaya membangun taman kota (dan pasti dibangun pula trotoar) bisa terealisasi. Demikian juga apabila trotoar kembali ke fungsi utamanya, maka kesimpangsiuran lalu lintas di lokasi tertentu dapat sedikit terurai.

Kantor Berita Antara tahun 2014 merilis berita ini: Warga Kota Cirebon, Jawa Barat, mengaku kesulitan melintasi trotoar seperti di Jalan Pandesan, Pekiringan, Siliwangi, Cipto akibat digunakan para pedagang kaki lima. “Kesulitan berjalan memanfaatkan trotoar jalan di Kota Cirebon, karena dipenuhi oleh pedagang kaki lima, sehingga rawan kecelakaan karena kendaraan sering melaju kencang,” ungkap seorang ibu.

Membicarakan trotoar tentu tak lepas dari peran pemerintah daerah. Peran di sini ialah menyoal langkah yang mesti dilakukan untuk menyelesaikan masalah trotoar. Cukup kompleks memang karena bertautan dengan kesempatan berusaha. Di dalamnya ada “kegagalan” pemda menyediakan ruang berusaha untuk wong cilik, juga ada pelanggaran yang dilakukan wong cilik atas penggunaan trotoar.
Jadi keduanya diharapkan bisa akur mencari solusi yang tepat serta tidak saling menyalahkan. Tidak saling kukuh pada pendirian yang subjektif.

BACA JUGA:  Pangkostrad Dikukuhkan sebagai Ketua Pembina YPSGJ

Pemda sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kenyamanan berusaha, pun harus menerapkan isi perda yang telah ditetapkan. Pemda menjadi garda terdepan untuk kepentingan seluruh warga.
Sebaliknya para pengguna trotoar pun dituntut untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Sinergi ini penting bagi tercapainya Kota Cirebon yang kita idamkan.

Kota Cirebon kerap memperoleh anugerah Adi Pura dan Wahana Tata Nugraha, namun faktanya hingga kini masih belum mampu mengembalikan fungsi trotoar. Dua anugerah di tingkat nasional itu sebaiknya dipertahankan serta terus menjadi kebanggaan yang dibingkai oleh kenyataan. Dengan kata lain kedua anugerah itu sedikit banyak membantu terealisasinya penerapan peraturan daerah.

Dalam hubungan yang terjalin secara mutualis ini, kita berharap kiranya pemda mengevaluasi sejumlah perda yang telah dilaksanakan, dan merekonstruksi perda yang dianggap kurang memberi manfaat bagi warga. Kendati demikian, menyoal trotoar, bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap ~saya setuju dengan isi perda tersebut di atas.
Penggunaan trotoar adalah sikap yang mengedepankan kepatuhan terhadap hukum. Jika terhadap hal kecil saja kita mengabaikan hukum, bagaimana lagi untuk hal yang lebih besar? []

*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *