dok istimewa
STASIUN KA Kejaksan saat diresmikan pada 1912 dengan wajah art deco yang tak pernah berubah.
Oleh: Nurdin M. Noer
LIDAH wong Cerbon menyebutnya dengan nama “tapsiun” Sebuah tempatpertemuan para pelancong yang akan maupun tengah turun dari perjalanan. Wajah ragam hias art deco yang didisain bangunan itu memang bisa dijadikan pencirian, bahwa bangunan tersebut bukan dalam masa klasik, tetapi juga bukan dalam masa modern. Lihat saja pada bentuk bagian atas bangunan yang merupakan segitiga, jendela kotak dan pintu lengkung menjadi cirinya yang khas.
Dari depan bangunan “zadoel” tersebut nampak sangat artistik berpola simetris samping kanan dan kiri. Stasiun Kejaksan – begitu nama lain dari stasiun besar Cirebon itu – terdiri dari bangunan induk, gudang dan peturasan. Pada bagian lain terdapat dua dipo (bengkel), masing-masing dipo khusus untuk perbaikan dan pemeliharaan lokomotif dan dipo untuk wagon. Keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bagungan stasiun.
Stasiun KA Kejaksan merupakan generasi pertama dari pembangunan stasiun kereta api pada masa penjajahan Hindia Belanda. Jalur yang membentang dari Jakarta dan Semarang pada masa itu. Data yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon mencatat, stasiun ini dibangun pada tahun 1911 atas prakarsa Staatsspoorwegen (perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan jalur kereta api ini dilakukan untuk mempercepat mobilitas barang dan penumpang, yang perintisannya mulai dilakukan sejak 1893 untuk jalur SCS (Semarang Cheribon Stoomtram-Maatschappij). Sedangkan jalur Cirebon – Cikampek dibangun sejak 1909 dan Cirebon Kroya sejak 1912. Angkutan penumpang pengusaha Eropa termasuk pekerja rodi untuk Kota Batavia atau sebaliknya dilakukan melaluis stasiun ini. Sejak Indonesia merdeka stasiun ini menjadi milik dan dikelola PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi III Cirebon.
“Sebagian besar bangunan yang ada di lingkungan stasiun ini benar-benar djadoel (djaman doeloe),” kata Arie F, yang saat wawancara menjabat Wakasie Dipo PT KAI Daops III Cirebon. “Lihat saja bangunan yang benar-benar kokoh, seperti bengkel kereta dan gudang air itu.”
Dipo (bengkel kereta api) yang berada di lingkungan Stasiun Cirebon dibangun setahun setelah stasiun besar tersebut didirikan, sekira tahun 1913. Di bengkel itu masih tersimpan lokomotif diesel pertama yang dibuat General Electric tahun 1953. Wong Cerbon menamai loko tersebut dengan loko sepur “Gajah Mada.”. Keaslian tersebut juga ditunjang dengan masih utuhnya alat putar lokomotif yang juga dibuat 1913 dengan kondisi yang masih normal.
Dalam ruangan stasiun terdapat pintu gerbang yang kokoh dengan rantai dan gembok asli tertempel di situ. Ada empat pintu gerbang yang berukuran sama yang ditutup dengan pintu besi Anderson. Bagian atas pintu dinaungi kanopi warna hijau berbentuk siku, terbuat dari rangka besi dan beratap fiber glas sebagai bangunan tambahan yang dibangun setelah masa kemerdekaan.
Stasiun Kejaksan dikenal pula sebagai tempat bersejarah. Pada masa revolusi fisik, ribuan pejuang yang naik kereta dari Jatinenegara menuju Yogyakarta sebagian diturunkan untuk menyergap Belanda yang datang membonceng bersama sekutu. Pertempuran besar terjadi di sekitar alun-alun Kejaksan hingga sebelah barat masjid At-Taqwa Nama “Kejaksan” sangat dikenal, karena pada masa lalu merupakan rumah “jaksa” yang dikenal sebagai Pangeran Kejaksan (Syekh Abdurakhim) pada masa Sunan Gunung Jati. Sementara masjid yang dibangun di daerah itu dinamai “Masjid Kejaksan.” Wajar, jika nama Kejaksan sangat melekat pada hati masyarakat dianggap sebagai namayang sepesifik dibansing nama “Stasiun Cirebon.” ***
*penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.
Komentar