Siswa “Sekolah Desa” Enggan Pakai Sepatu

BANGUNAN bekas Sekolah Rakyat (SR) Kebon baru Kota Cirebon dan proses belajar mengajar di Sekolah Desa Bangsa Jawa (kanan).

Oleh NURDIN M. NOER*

SEKOLAH Jawa memang hanya untuk bangsa Jawa. Sekolah ini disebut sebagai sekolah desa, karena memang diselenggarakan di desa-desa. Hingga tahun 1960an, ketika Sekolah Rakyat (SR) berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) masyarakat di perdesaan di daerah Cirebon masih menyebutnya sebagai ”sekolah desa”.

Di Desa Gegesik Kidul Kabupaten Cirebon misalnya, sekolah ini dibangun di sekitar pekarangan balai desa setempat. Anak-anak sekolah dengan pakaian seadanya dan tanpa alas kaki alias ”nyokor”. Mereka umumnya merupakan anak-anak petani yang kehidupannya sangat sederhana. Bangunan sekolah desa hanya terbuat dari dinding gedég bambu. Belum ada bangunan permanen saat itu.

Pendidikan para gurunya pun sangat sederhana. Cukup SGB (Sekolah Guru Bantu), jika ada kesempatan guru tersebut bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang SGA (Sekolah Guru Atas). Sekolah ini hanya ada di kota-kota besar, seperti Bandung dan Jakarta. Sementara untuk SGB hanya ada di kota-kota yang termasuk Daerah Swatantra Tingkat II (setara kotamadya).

Menurut cerita orangtua, para guru sekolah desa setiap hari selalu membawa penjalin (rotan) yang lentur. Setiap anak yang tidak mampu membaca atau mencongak (berhitung cepat) segera sang rotan pun melayang di punggung atau di telapak tangan sebagai hukuman. Sisa-sisa pengajar masa lalu yang masih terlihat di mata penulis, memang seperti itu. Seorang ustaz di madrasah diniyah selalu membawa penggaris panjang dan jika tak bisa membaca tulisan Arab sang penggaris pun segera melayang di pipi. Apa lagi saat belajar para siswa tak mempedulikan pelajaran dari sang guru, segera penghapus pun melayang di kepala.

BACA JUGA:  Gaungkan Protes Masyarakat, Greenpeace dan Walhi Akan Riset Dampak Lingkungan PLTU Cirebon

Pendidikan semacam itu memang digalang khusus untuk kalangan bumi putera (kaum pribumi), Kalangan pendidik Hindia Belanda menganggap anak-anak pribumi sebagai ”koppeg” (baca: kopeh) artinya ”bangor” dan bodoh. Karena itu cara belajarnya pun harus seperti mendidik hewan kerja, seperti kuda, sapi atau kerbau. Meski demikian, pendidikan masa lalu banyak melahirkan kalangan politisi handal. Banyak politisi yang tak lulus sekolah desa bisa tampil sebagai tokoh unggulan di daerahnya.

Sementara bahasa pengantarnya hingga kelas tiga masih menggunakan bahasa daerah, baik Jawa maupun Sunda. Setelah itu saat mendaki ke kelas IV diajarkan bahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia saat itu). Karena itu di Kota Cirebon terdapat dua jenis sekolah yang biasa disebut masyarakat sebagai ”Sekolah Jawa” dan ”Sekolah Sunda”.

Di SD (R) Kebonbaru (sebelah selatan) dan Pamitran disebut sebagai “sekolah Sunda”, karena baik muridnya, gurunya maupun bahasa pengantar yang digunakannya bahasa Sunda. Menginjak tahun 1975-an, sebutan “sekolah Jawa dan Sunda” perlahan mulai hilang. Karena bahasa pengantar bagi murid kelas satu hingga enam mulai menggunakan bahasa Indonesia. Namun untuk mata pelajaran bahasa daerah, sekolah-sekolah tersebut hingga kini masih menggunakan bahasa Sunda. Sementara sebutan “sekolah Jawa” untuk SD-SD tertentu telah hilang sama sekali, karena sekolah yang bersangkutan telah menghilangkan mata pelajaran bahasa Jawa.

Sedangkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Kebonbaru Utara yang berada di Jl.Veteran yang berhadapan langsung dengan SD Negeri Kebonbaru Selatan, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, merupakan Europeesch Lagere School yang dikhususkan untuk anak-anak perempuan dari bangsa Eropa. []

*Penulis adalah Pemerhati kebudayaan lokal.

Komentar