Sastra, Sekolah dan Kemungkinan-kemungkinannya

Oleh DOAMAD TASTIER*

MANUSIA sangat dipersyarati oleh sastra untuk kemanusiaannya. Begitulah yang diungkapkan oleh Cak Nun dalam orasi kebudayaannya untuk ulang tahun majalah Horison yang ke-50 pada tanggal 26 Juli 2016. Tentu saja ini bukanlah ungkapan yang berlebihan. Sejak awal peradaban manusia, ia tidak bisa lepas dari sastra sebagi bagian yang membentuk cita rasa kemanusiaannya. Sastra merupakan bahan pokok dalam materi pembelajaran-pembelajaran para cendekia klasik baik pada zaman helenik maupun zaman keemasan islam, bahkan seluruh zaman keemasan semua bangsa. Tidak hanya itu, sastra merupakan nilai yang inheren menyatu dengan kehidupan manusia sendiri. Tanpa harus diteorikan maupun diformulasikan dalam materi ajar sekalipun. Ia menyatu dengan setiap darah dan hembusan nafas manusia.

Sebagai makhluk yang selalu bergerak dinamis, manusia memerlukan sastra sebagai luapan, pengisi kekosongan-kekosongan jiwa, bahkan sebagai pemantik yang menggerakan kreatifitas manusia. Seorang astronom akhir abad kelima sebelum masehi mendeskripsikan bagaimana bentuk alam selemesta melalui gambaran-gambaran sastrawi. Terlepas dari benar atau tidaknya gambaran tersebut sastra berhasil merangsang laju perdaban science yang beberapa abad belakangan seolah memunggungi dan meludahi sastra sebagai produk-produk khayalan manusia-manusia gila dan kurang kerjaan.

Seorang Leonardo Da Vinci menggambarkan sebuah visual dari bentuk yang disinyalir mengimpulsi manusia sesudahnya untuk menciptakan helikopter. Ekspresi kesusastraan itu mendorong manusia untuk terus mencipta sesuatu yang sangat berharga bagi peradaban manusia. Maka memunggungi sastra adalah memunggungi kemanusiaan itu sendiri. Sekolah sebagai sebuah lembaga yang diproyeksikan untuk membangun manusia menjadi manusia seutuhnya harus menilai ulang urgensi sastra tidak hanya sebatas pengetahuan normatif, namun menjadikan sastra sebagai sesuatu yang inheren dengan kehidupan siswa.

Seorang bijak bestari pernah berucap bahwa sastra merupakan jembatan yang menghubungkan realitas dengan ceruk yang, pada saat sekarang seolah-olah, tidak bisa diinjak oleh piranti-piranti realitas. Pada tahap ini sastra merupakan wadah sekaligus sumber dari imajinasi-imajinasi peserta didik yang baginya, saat ini, berada pada ceruk yang tak terjangkau. Sesuatu yang berada pada ketidakmungkinan bagi manusia. Dia terinspirasi lalu menggambarkan dengan segala keterbatasannya dan kelemahannya. Namun bukan tidak mungkin jika ia kelak, maupun manusia lain sesudahnya bisa mewujudkan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan tersebut menjadi wujud nyata. Pada titik inilah sastra mempuanyai elan vitalnya dalam menumbuhkan daya kreasi peserta didik. Wallahu A’lam Bi As-Showab. []

BACA JUGA:  Gerindra Usung Sjafrie Sjamsoeddin untuk Lawan Ahok di Pilgub DKI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *