Sastra dan Pengalaman Saya (1)

Oleh Uyung Nuha

KALAU takut, jangan jadi pengarang! Satu kalimat singkat dari Pramudya Ananta Toer dengan tanda seru itu agaknya membuat otak saya mengambil ancang-ancang untuk keluar dari batok kepala. Apa pasal? Bagaimana tidak, banyak buku berisi teori menyebutkan bahwa menulis adalah sebuah keterampilan (kebahasaan) yang ditengarai lebih sulit dari berbicara, menyimak, dan membaca. Sampai di situ, saya memikirkannya tak jemu-jemu.

Meski anggapan itu tidak sepenuhnya benar, begitu pun sebaliknya. Saya membayangkan begini: ketika ada orang seberapa pun vokal di banyak forum, koleksi buku berbufet-bufet, ditambah mampu menjadi pendengar yang baik bagi lawan bicara, namun tidak pernah menuliskan gagasan apapun, ibarat mencintai seseorang namun tidak cukup percaya diri, yakin, dan berani memilikinya. Tentu, bagaimana pun ketakutan untuk menulis pernah saya alami. Takut jelek, salah, dicemooh, diabaikan, tidak dibaca, tidak manfaat, dan sederet takut-takut lainnya. Ketakutan itu realita yang harus saya hadapi. Itu dulu. Sekarang bagaimana?

Hingga hari ini, saya masih terus belajar, memikirkan kata-kata, mendekatinya, menggaulinya sampai saya sering mendapati kekesalan, pusing, dan limbung dibuatnya. Menulis memang sepertinya perkara kedalaman batin tentang kesadaran atas pikiran yang tidak pernah berhenti menggelisahkan persoalan-persoalan hidup. Apalagi yang menjadi pilihan adalah menulis sastra. Apa sastra itu? Mengapa sastra? Mereka yang awam tentu sah-sah saja jika mengatakan bahwa sastra merupakan puisi, cerpen, novel, naskah drama, yang selama ini sering didengar sepintas lalu. Bagi yang memilih sastra sebagai pilihan hidupnya tentu lain cerita. Lantas, mengapa saya menulis sastra?

Adalah keberanian dari sekian banyak syarat paling utama harus dimiliki seorang penulis yang mengkhususkan diri pada sastra menurut saya. Meski banyak teori mengenai siasat, trik, metode jitu mahir menulis, memberikan iming-iming judul pintar dan tangkas menulis dalam 1 jam di sampul bukunya, dan meyakinkan bahwa menulis itu menyenangkan, tetap saja menulis membutuhkan kemauan yang besar dan keseriusan tahan banting agar berani untuk menempuh proses panjangnya. Jika tidak, tulisan yang dihasilkan hanya sebatas meludah sembarangan atau omong kosong. Persoalannya sederhana, ketika sudah memulai dan memilih menulis, sanggup tidak memelihara konsistensinya?

Sejak 2012 berproses kreatif dan digembleng oleh seorang guru yang tidak hanya mahir menulis, pandai bicara, mengutamakan bacaan berkualitas, hingga terbiasa dengan diskusi sebagaimana cara-cara intelektual, membuat saya tidak habis pikir dengan pengalaman yang saya lampaui selama ini. Di saat anak-anak muda seusia saya asik jalan-jalan ke tempat karaoke, shopping dari mal ke mal, dugem, pamer gadget terbaru, saya justru terseret ke dalam dunia sastra dan membawa saya terus larut di palung buku-buku dan samudera tulis-menulis. Ini konyol? Kok mau-maunya, ya salah sendiri, padahal hidup ini harus dinikmati bukan?

*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *