Oleh Uyung Nuha
Justru itu. Sastra yang menolong saya. Sastra menuntun saya untuk menerima, mempercayai, dan mencoba yakin dengan diri sendiri. Seorang penulis cerdas pernah berkata, berbicara dan menulis tidak boleh salah, jangan pernah memberikan pemakluman-pemakluman kepada diri sendiri jika ingin karyamu baik. Karya hanya bonus dari proses menulis yang memakan waktu panjang dan melelahkan. Tanpa bermaksud baper, saya sering menghabiskan waktu untuk menangis berjam-jam memikirkan tulisan yang masih mengendap dan tentu: buruk.
Namun satu hal yang saya yakini, menulis sastra membuat saya tangguh dan belajar menerima kemungkinan-kemungkinan lain terutama melawan keegoisan diri sendiri. Penulis sekaliber AS Laksana berkelakar, dalam dua bulan terakhir ia berhasil menurunkan berat badan 7 kilogram dan menjadikan tubuh lebih fit dan lebih gesit. Dan ia melakukannya tanpa mengubah pola makan samasekali, hanya mengedit naskah sendiri dan tidur jika sudah kelelahan dan tiga atau empat jam kemudian bangun dengan kebencian maksimum terhadap kalimat-kalimat yang kemarin dianggap sudah bagus. Ini fakta ilmiah yang saya alami, kata AS Laksana.
Memilih Studi Bahasa
Sebelum menjadi mahasiswa (pendidikan) bahasa dan sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi swasta Cirebon yang hampir negeri tapi tidak jadi, ketika SMA saya memilih masuk jurusan Bahasa atau yang sering di singkat dengan BHS dari pada IPA dan IPS. Bukan, bukan karena tidak mencintai hitung-hitungan. Karena di BHS pun hitungan tetap saya jumpai bahkan lebih memusingkan. Alasannya sepele, guru Kimia saya waktu itu hanya bahagia mengajarkan anak-anak yang membeli buku paket darinya (sementara saya hanya meminjam di perpus) dan asyik masyuk sendiri saat menjelaskan.
Sementara untuk masuk IPS tidak ada masalah yang begitu berarti. Hanya tetap, pilihan saya jatuh ke BHS. Ketika masuk, saya berjumpa dengan bahasa Indonesia lagi, Arab, Jepang, Inggris, dan Prancis. Sastra Indonesia dan Antropologi juga begitu saya gemari. Ketika menjelang pengumuman kelulusan kelas XII, agaknya semesta mendukung, saya menjadi satu dari tujuh orang yang masuk perguruan tinggi negeri di Depok dengan konsentrasi sastra Indonesia melalui jalur undangan. Namun, otoritas orangtua lebih agung. Saya disuruh melanjutkan studi cukup di kampus Cirebon. Saya pun patah arang.
Alih-alih frustrasi, saya justru masuk di jurusan bahasa dan sastra Indonesia (paling tidak sedikit mengobati). Namun, agaknya ekspektasi saya terlalu besar. Saya berharap banyak. Tapi ketika kuliah saya seperti mayat hidup. Tidak ada forum diskusi yang membicarakan karya-karya sastra atau persoalan apa pun di kampus. Dosen datang silih berganti dengan sepaket teori dari buku babon yang ada di genggaman. Tugas yang kopi paste dan tidak mengutamakan buku sebagai referensi. Bahkan, ada seorang teman yang baru membuat kartu perpustakaan ketika menginjak semester lima. Satu kelas bersekat dan memanjang berisi 50 orang. Dinamika menjadi mahasiswa kupu-kupu benar-benar membuat saya muak.
*) Penulis bergiat di Lingkar Jenar