Citrust.id – Cirebon adalah satu dari banyak wilayah di Indonesia yang sarat dengan legenda. Salah satu yang terkenal adalah legenda yang dimiliki masyarakat Tegalwangi, Kabupaten Cirebon.
Diungkapkan politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Jahari, legenda Tegalwangi sangat berkait erat dengan bisnis rotan yang berkembang di wilayah tersebut.
Seperti kita tahu, diungkapkan pria berkaca mata ini, selayaknya produk kerajinan tangan tak lepas dari hasil alam yang ada di sekitarnya. Ini juga yang menjadi ciri khas potensi bisnis di masing-masing wilayah.
“Namun berbeda dengan kondisi warga Desa Tegal wangi. Meski tak memiliki hutan, sebagian besar warga di desa ini hidup dari bisnis kerajinan tangan mengayam hasil alam rotan,” ujar Jahari.
Ia menambahkan, hal tersebut konon tak lepas dari legenda asal muasal berdirinya desa Tegalwangi, yakni bermula dari peristiwa lamaran Pangeran Kejaksan Cirebon kepada pendiri Desa Tegalmantro (sekarang Desa Tegalwangi) Cirebon.
“Berdasarkan legenda, Padukuhan Tegalwangi didirikan oleh Nyi Mas Galmantro yang masyhur karena kepintaran dan kecantikannya. Hal itu kononmembuat hati Pangeran Kejaksan terpikat, sehingga muncul keinginan untuk melamar Nyi Mas Galmantro.
Setelah melakukan pendekatan dan persiapan, Pangeran Kejaksan akhirnya memberanikan diri melamar Nyi Mas Galmantro dengan mas kawin sejumlah rotan. Namun sayang saat melamar, rotan yang dijanjikan oleh Pangeran Kejaksan Cirebon kurang dua batang, sehingga lamaran pun ditolak.
Tapi penolakan itu diterima lapang dada oleh Pangeran Kejaksan. Sang Pangeran bergegas pergi meninggalkan rotan untuk masyarakat desa tempat Nyi Mas Galmantro Tinggal sambil berucap, “Rotan saya tinggalkan di sini untuk penghidupan anak cucu panjenengan (kalian).”
“Masyarakat pun mengelola rotan tersebut, hingga keahliannya diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang dan menjadi sumber kehidupan masyarakat.
“Legenda tersebut menunjukan alasan kenapa sampai saat ini warga Desa Tegalwangi bertahan hidup dari rotan, padahal tak punya hutan,” Imbuh Jahari.
Hari ini, ujar Jahari, legenda tersebut menjadi cerita lisan yang berkembang dari generasi ke generasi, yang terus hidup tanpa memperdebatkan fakta dan data sejarah.
“Namun yang menjadi benang merah dari legenda tersebut adalah mengenai spirit yang mendasari keterampilan masyarakat Tegalwangi dalam mengolah rotan menjadi hasil kerajinan,” kata Jahari.
“Rotan di hadapan masyarakat Tegalwangi melampaui material dan aktivitas bisnis semata, namun telah menyatu menjadi bagian dari nafas etos hidup dan kearifan lokal masyarakatnya,” pungkas pria yang pernah jadi buruh rotan ini./citrust.id
Komentar