Primadona Dosa

Oleh WAHYU ROHAEDI*

DOSA itu gagasan Tuhan sendirian. Para ilmuwan, pendeta, ulama bahkan pun Nabi, tidak ikut memproses konsepsi tentang dosa. Jadi, anda senang atau tidak, acuan dari tulisan ini adalah bermuara pada Tuhan. Mungkin lewat komunikasi dua arah dengan-Nya, mungkin juga lewat perantara agama, terlepas dari kontroversi yang menyangkut tentang benar-tidaknya ucapan Tuhan dan agama menurut metodologi dan konvensi pengetahuan di antara manusia, yang penting adalah  kenyataan bahwa sejarah lahirnya setiap agama selalu berujung prinsip nilai tentang kesamaan derajat sesama manusia, apresiasi terhadap hak dan kewajiban serta perjuangan dalam mewujudkan keadilan. Barangkali karena Tuhan sendiri tidak sembarangan memilih tempat tinggal dan pemihakan. Misalnya, belum pernah kita mendengar ada sebuah aliran yang paling sesat pun yang menyebut bahwa Tuhan berpihak pada penguasa yang zalim, kepada perampok atau  penipu.

Alamat Tuhan selalu di semesta kebenaran, Negara keadilan, provinsi kesantunan, karena identitas Tuhan selain Illah (pemilik segala otoritas), juga rabb (penyantun). Dia pun memiliki berbagai karakter, seperti rahman, rahim, dan sebagainya. Beda dengan para penguasa yang hanya meniru sifat-Nya tapi hanya yang enak-enak saja.

Jadi peta dosa menurut Tuhan terutama berpusat pada pelanggaran manusia terhadap rasa keadilan. Dosa besar menurut-Nya adalah zalim terhadap diri-Nya, dosa terbesar kedua adalah zalim kepada manusia, berpura-pura baik tapi ternyata menipu. Abu Nawas pernah bersyair, “dosaku bagaikan lautan pasir, maka jika Kau tak mengampuni, kepada siapakah aku meminta ampunan…”

Pada suatu malam, Khidir memarahi khalifah karena bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya, sambil berkata, “Tak ada orang lain ditimpa penyakit keserakahan melebihimu,  Allah menitipkan segala urusan rakyat, tapi ternyata kau khianat. Kau membuat jarak dari rakyatmu, kau hanya sibuk menumpuk kekayaan sedang rakyatmu hidup penuh penderitaan, kekurangan dan kelaparan. Kau menyuruh para pengawalmu untuk menyerobot tanah milik rakyat, merampas harta benda mereka. Kau pun memiliki para menteri yang sangat hipokrit, kalau kau salah para menterimu tak mengingatkanmu tapi malah menyuruhmu untuk berbuat lebih sewenang-wenang lagi. Kau tak pernah menyuruh para pembesar dan menterimu untuk menyantuni para fakir dan orang-orang miskin, orang-orang lapar terlihat sepanjang mata memandang, tapi kau tetap tenang-tenang saja. Rakyatmu banyak yang lemah dan dilemahkan, badan mereka kurus kering, tapi omonganmu tetap nyaring, ya nyaring dalam berpidato di depan rakyatmu, kau pandai bersilat lidah, kejahatan kau bungkus kebaikan, kezaliman kau kemas kemanusiaan, kau ternyata dedengkot penipu di negeri ini, kau anjurkan rakyat hidup sederhana, sedangkan kau dan para pembesar istana hidup penuh dengan pesta pora dan hura-hura”.

BACA JUGA:  Pasar Tradisional

Khidir pun melanjutkan cerita, “Ketika aku berada di China, aku menyaksikan raja yang sudah tua dan tuli, suatu hari dia menangis dan berkata kepada menterinya, aku menangis bukan karena keadaanku, melainkan karena dalam ketulianku, aku masih bisa mendengarkan tangisan rakyatku yang kelaparan”. Sang raja pun melanjutkan, maka aku umumkan kepada rakyatku, barang siapa merasa haknya dirampas, hendaknya dia memakai baju merah, sehingga aku bisa melihat dan menolong kalian…” Khidir melanjutkan, “Raja China itu seorang yang musyrik, namun kasih sayang dan sifat keadilannya ditebarkannya ke seluruh penjuru negeri. Sedangkan engkau seorang muslim, mukmin dan haji…”

Tetapi kita tidak mengklaim bahwa seseorang telah berpahala, sementara orang lain telah berdosa, dan orang lain adalah primadona dosa-dosa.

Yang saya tawarkan adalah selalu kerendahan hati di hadapan manusia, dan pastinya di hadapan Tuhan. Salah satu yang tak sanggup kita bayangkan adalah tingkat kelembutan hukum Allah dan para Malaikat yang menjadi pekerjanya. Taraf kejernihan dan keakuratannya untuk memperoleh keadilan terhadap realitas yang selalu bersifat kausalitatif, kompleks dan relatif. Dan itu tak mungkin terjangkau oleh kecanggihan akal model apapun, betapa tak mungkinnya kita menghitung jasa dosa seseorang, tatkala kita menyadari bahwa tak ada satu debu pun yang berdiri sendiri dalam kehidupan ini. Satu-satunya rumusan yang bisa kita ucapkan adalah bahwa Allah itu Maha Hakim. Kita wakilkan seluruh ketidakberdayaan dan keterbatasan kita, juga beribu rahasia hidup, kepada idiom “Maha”.

Ketika seseorang menghirup air di gelas, ia tak kan mampu menjawab sangat banyak pertanyaan tentang air itu. Bagaimana asal-usulnya, darimana datangnya, dalam status apa hingga ia sampai di tenggorokan, dan pada saat itu bagaimana status hukum, status medis, status teologis dan lain sebagainya dari air itu. Bahkan ketika lidah seseorang kepedasan karena sambal, tak bisa dijelaskan bagaimana proses peradaban pembuatan sambal. Bahkan dari kita mungkin lupa berterima kasih kepada orang yang pertama kali membuat sambal. Betapa rendah dan artifisial ilmu manusia. Kalau ada seorang pencopet tertangkap, jaksa dan hakim mengambil tindakan pragmatis, menghimpun bukti-bukti bahwa ia mencopet, lantas ia pun dijatuhi hukuman atas perbuatannya mencopet. Padahal inti kasus hukumnya boleh jadi bukan terletak pada saat ia mencopet tapi pada mengapa ia melakukan tindakan tersebut.

BACA JUGA:  Mengenang Perang Santri Cirebon [Memoar Kemerdekaan]

Ada kasus lain, ada bantuan pemerintah ke sebuah sekolah dasar yang seharusnya misalkan satu juta rupiah tapi yang sampai ke sekolah hanya empatratus ribu rupiah. Hakim mungkin hanya berfikir pada realitas selembar kuitansi yang ditandatangani kepala sekolah yang tertera memang satu juta rupiah. Sejumlah “talang air”  yang memungkinkan sebagian “air” yang dialirkan itu tertinggal dengan sengaja, bisa dilacak oleh kebiasaan budaya namun tidak bisa digenggam oleh sistem hukum. Dan jika nanti sang kepala sekolah akan menghadang talang air di jalan, merampok yang enam ratus ribu maka hakim dunia akan mencincangnya dan mencampakkan sang kepala sekolah ke sel penjara. Betapa hinanya hakim dunia.

Ketika Pak Lurah mengatakan, “rakyat setuju pada proyek nuklir di muara”, di hadapan Pangdam, letak substansi realitas kehendak rakyat tidak pada kalimat pernyataan itu, melainkan bersembunyi di balik rasa takut struktural si Lurah. Jadi sekali lagi betapa rendah dan tidak bermutunya mata dunia, apalagi mata sepihak sebuah kekuasaan.

Maka kita kembali bersujud di hadapan Sang Maha Kelembutan, sorot mata keadilan Sang Maha Hakim. Dialah yang Maha memahami betapa dosa hamba-hambanya bersifat historis-struktural. Seseorang bisa terseret melakukan tindak pidana kriminal di sebuah pasar karena di pangkal sana seorang Kepala Negara jauh sebelumnya telah melakukan sebuah kesalahan prinsipil dan menelorkan ekses-ekses global.

Sungguh di luar pemahaman akal kita, bahwa begitu banyak orang yang menjerumuskan diri ke dalam keberanian-keberanian yang nekad dan bodoh, sedangkan untuk menjaga kelakuan sendiri saja sedemikian berat di hadapan kelembutan dan ketelitian Allah. Bagaimana ada saudara-saudara kita yang dengan gagah berani mengambil beban-beban nasional yang akan mencelakakan dirinya di hari tua kelak, dan tentunya di hadapan Sang Maha Melihat. “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhalimin”. Tak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sedang aku termasuk orang yang zhalim.

Mungkin saat ini yang kita butuhkan adalah berita yang buruk tentang kita, karena itulah metodologi untuk menyelamatkan keselamatan kita. “Rabbana la tuhammil na ma la thaqata lana bih…” Ya Allah jangan bebankan kami beban yang aku tak sanggup memikulnya. Kupanjatkan doa itu seraya berjanji bahwa aku juga tidak akan memupuk dosa-dosa yang kelak aku sendiri tak akan mampu menanggungnya ketika menghadap Sang Maha Hakim. Wallohu a’lam. []

*Penulis adalah Manager Koperasi Mebel Kayu Kaliwulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *