Benarkah Berjualan di Ruang Publik yang Dilakukan PKL Dilarang?

Oleh: Dicky Turmudzy Kushiar

(Praktisi hukum. Mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Hukum Bandung)

Baru-baru ini terjadi unjuk rasa yang dilakukan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang biasa berjualan di Alun-Alun Kabupaten Majalengka, akibat larangan berjualan di alun-alun itu oleh Pemerintah Kabupaten Majalengka. Pemkab beralasan, PKL dilarang berjualan di ruang publik.

Larangan Pemkab tersebut memang berdasar, yaitu dimuat dalam Pasal 19 ayat (1) Jo. Pasal 20 ayat (4) huruf a Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat. Pasal tersebut menyatakan, PKL dilarang melakukan kegiatan usahanya di ruang umum yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL.

Namun, apakah benar pasal tersebut dapat diterapkan? Ataukah pasal tersebut ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penulis akan mencoba membahasnya sesuai dengan pemahaman penulis.

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal tersebut berarti, semua orang, termasuk pemerintahnya, yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tunduk dan taat pada hukum yang berlaku di Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PKL di Indonesia dari hierarki paling tinggi ke hierarki paling bawah, dapat penulis sebutkan sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima; Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penataan Kawasan Pedagang Kaki Lima Melalui Dana Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2018; dan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat.

BACA JUGA:  Bupati Indramayu Harapkan Pemerintah Pusat Bantu Program Pertanian

Dalam peraturan perundang-undangan di atas, bisa kita pelajari bersama, larangan berjualan di ruang publik bagi PKL hanya terdapat dalam Perda Kabupaten Majalengka saja. Sebaliknya, dalam peraturan di atasnya, yang ada hanya pengaturan mengenai pendataan PKL, penetapan lokasi PKL, atau penghapusan lokasi PKL yang berhak dilakukan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten. Tidak ada sama sekali larangan bagi PKL untuk berjualan di manapun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam memahami dan melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan, kita tidak boleh melakukannya secara parsial, tetapi harus dilakukan secara terpadu. Artinya, kita tidak bisa misalnya hanya memakai satu pasal atau ayat saja dari sebuah peraturan karena dianggap paling relevan dengan sebuah kasus, tetapi mengesampingkan pasal yang lainnya.

Dalam Pasal 19 ayat (1) Jo. Pasal 20 ayat (4) huruf a Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat , memang benar, PKL dilarang berjualan di ruang publik/umum. Namun, jangan lupakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (3) yang menyatakan bahwa, bupati dapat menetapkan bagian jalan/trotoar dan fasilitas umum lainnya sebagai tempat usaha Pedagang Kaki Lima, serta amanat dari Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Artinya, bisa saja bupati menetapkan Alun-Alun Kabupaten Majalengka dipakai untuk berjualan oleh PKL untuk sementara, selama lokasi baru yang ditetapkan menjadi lokasi bagi PKL belum tersedia.

Semua kembali kepada political will dari bupati sebagai pemegang kekuasaan. Apakah kebijakan atau keputusannya berpihak kepada rakyat atau tidak. Penulis hanya bisa mengingatkan, pembangunan sejatinya dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Apalah artinya sebuah pembangunan dilakukan, apabila tidak berdampak bagi sejahteranya masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

BACA JUGA:  Ratusan Atlet Paralayang Ikuti Event TRoI di Majalengka

Kepada PKL atau perkumpulannya, penulis berharap, agar perjuangan mereka tidak berhenti. Apapun yang terjadi. Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Setiap warga negara juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28A.

Saran penulis kepada PKL atau perkumpulannya adalah lakukan judicial review ke Mahkamah Agung untuk menguji pasal-pasal di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan di atasnya.

Dapat juga melakukan alternatif lain, yaitu mendesak DPRD untuk segera melakukan legislative review serta mendesak bupati untuk segera melakukan executive review terhadap perda tersebut.

Demikian pendapat penulis tentang permasalahan mengenai PKL tersebut. Mohon maaf apabila ada salah dan khilaf dalam tulisan ini. (*)

Komentar