Nenek Tarmi Puluhan Tahun Membuat Anyaman Bambu

Citrust.id – Meski wajah keriput dan rambut beruban, namun tenaga nenek Tarmi (82) ini seperti layaknya anak muda. Ia mampu membelah kayu bambu menjadi beberapa potong, dengan menggunakan parang.

Kayu bambu itu akan digunakan oleh nenek, warga Dusun Kawungsari blok rabu RT 04/05 Desa Karangasem Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka ini untuk dijadikan anyaman bambu berupa topi caping bambu atau topi petani.

Tiap hari nenek kelahiran tahun 1935 ini, sejak 30 tahun ditinggal Misna suaminya, kini membuat anyaman bambu sendirian. Ia mengaku topi petani buatannya ia jual untuk menyambung hidup.

Menurut nenek 7 anak 18 cucu dan 15 cicit ini menyebutkan, pembuatan topi petani atau masyarakat setempat menyebutnya dudukuy ini dimulai dari pemotongan batang bambu menjadi beberapa potong ukuran sedang, kemudian dibelah menjadi beberapa bagian.

“Bambu untuk bahan anyaman dapat beli dari desa tetangga, bambu yang dipakai jenis bambu tali,” kata dia, Sabtu (01/09).

Meski sudah tua, nenek Tarmi mampu membelah kayu bambu menjadi beberapa potong bagian. Potongan bambu itu untuk kemudian disayat tipis-tipis dengan menggunakan parang.

Ia menyayat-nyayat bambu dan memotong bambu dengan ukuran satu meter. Hasil sayatan bambu dengan ukuran tipis itu harus mencapai hingga ratusan helai. Bila dirasa cukup, sayatan bambu itu dijemur diterik matahari.

Proses penjemuran membutuhkan waktu satu hingga dua hari tergantung cuaca. Bila sudah cukup, sayatan bambu mulai dianyam oleh tangan terampil nenek Tarmi. Satu persatu bambu digabungkan, hingga membentuk anyaman bambu dudukuy.

Menurut nenek Tarmi, dalam sehari ia mempu menghasilkan 5 buah dudukuy, itu juga kalau badan sedang sehat. Biasanya dalam satu bulan mampu membuat 1 kodi dudukuy.

BACA JUGA:  Penonton Membludak di Venue Canoe Slalom, Medali Emas Diraih Jepang

Nampaknya jerih payah, tenaga dan susahnya membuat dudukuy, tak sebanding dengan penghasilannya. Satu dudukuy hanya dihargai Rp8 ribu saja oleh pengepul.

“Biasanya saya jual dudukuy ke pengepul. Pengepul itu datang kerumah mengambil setelah dudukuy terkumpul paling sedikitnya 1 kodi. Untuk 1 kodi dihargai Rp160 ribu,” ungkapnya.

Dikatakannya, pemasaran dudukuy hanya kepada pengepul, karena modal dan biaya hidup sehari-hari pinjam dari pengepul (Ngebon). Dudukuy buatannya ini setelah terkumpul di pengepul akan dipasarkan di Kota Bandung.

Meski harga jual sangat kecil, ia mengaku senang dan puas saat dudukuynya laku terjual, sebab ia bisa membeli beras untuk makan dan kebutuhan sehari-hari.

Keahliannya membuat anyaman dudukuy merupakan peninggalan nenek moyangnya sejak puluhan tahun yang lalu. Ia berharap para generasi muda sekarang, terutama kepada anak, cucu dan cicitnya bisa membuat dudukuy atau anyaman bambu lainnya. /abduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *