Foto NMN
Oleh: Nurdin M Noer*
INILAH kegerahan Sumbadi Egrang terhadap kekuasaan. Ia menyebut kekuasaan yang direpresentasikan dengan Nudin, sang penjilat kekuasaan sebenarnya merupakan kegusarannya terhadap kekuasaan sejak zaman Orde Baru hingga kini. Tak berubah, perubahan hanya terdapat pada oknum-oknumnya saja, sementara perilakunya tetap busuk.
Sumbadi Sastra Alam atau saya biasa memanggilnya dengan sebutan “Egrang” rupanya merindukan ekspresi teater yang diistirahatkannya sejak 30 tahun lalu. Senin sore (2/5) di Gedung Kesenian Rara Santang Cirebon, ia menggelar monolog dengan judul “Lagu Kursi Tua”. Seperti lazimnya monolog, ia bermain sendirian dan berdialog dengan dirinya sendiri. Sama seperti lakon-lakon monolog lainnya yang pernah ditulis penulis naskah teater sebelumnya, seperti Arifin C. Noer, Putu Wijaya, WS Rendra, dan sebagainya.
Sumbadi sendiri sebenarnya merupakan tokoh teater tahun 1980an dan murid dari teaterawan terkemuka Arifin C. Noer dan pernah menyabet gelar “Sutradara Terbaik I 1985 Tingkat Jawa Barat” pada Festival Teater se-Jawa Barat saat itu. Puluhan naskah pernah digelarnya, baik naskah penulis lain seperti Putu Wijaya (Geer, Dag-dig-dug), Rendra (Perampok) dan naskah yang ditulisnya sendiri seperti “Perawan Ting-ting”.
Bersama teman-teman seangkatannya, dari Studi Sastra dan Teater Cirebon (1976) Grup Cob-cob Gerage (1977-1981) serta Tim Budaya “PR” Cirebon. Egrang tak kenal lelah dalam perjalanan keseniannya, istirahat dalam teater, ia pun main dan menyutradari berbagai sinetron. Ia pun pernah ditugaskan Arifin C.Noer dengan rekomendasi dari Pangkopkamtib untuk meneliti “Pembajakan Pesawat Woyla” di Bandara Don Muang Thailand (1980an).
Ekspresi teaternya secara lengkap digelar dalam lakon “Lagu Kursi Tua”. Ia kini telah menjadi sosok yang renta, miskin, menderita dan peminum alkohol. Ia seringkali menyumpahi sahabat dekatnya, Nurdin yang selalu menjilat terhadap kekuasaan. Si Nurdin dalam kisah itu, menjadi kaya raya, setelah melakukan trik keahliannya mendekat kekuasaan. Di saat kerentaannya itulah Egrang sadar, ia hidup sendirian. Di bawah redup lampu panggung, ia berjalan tertaih-tatih untuk menutup lakonnya sendiri. Cukup 20 menit saja monolog itu berlangsung.
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.
Komentar