Citrust.id – Komisi I DPRD Kota Cirebon meminta kepada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk segera melakukan rapat koordinasi terkait persoalan lahan Kutiong-Sentiong di Wanacala, Kelurahan/Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Komisi I juga merekomendasikan kepada Pemkot Cirebon dan Banggar DPRD untuk mengalokasikan anggaran kegiatan gugus tugas agar rapat koordinasi bisa berjalan.
Ketua Komisi I DPRD Kota Cirebon, Dani Mardani SH MH menyampaikan, sejauh ini belum ada rapat koordinasi tim gugus tugas perihal upaya penyelesaian masalah pendudukan lahan Kutiong-Sentiong ini.
“Sekarang struktur kelembagaan sudah ada, tinggal tim ini GTRA menyusun program. Komisi I merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan DPRD menganggarkan kegiatan, sehingga agenda kegiatan bisa fokus dan terjadwal,” ujar Dani saat menerima audiensi dari Paguyuban Satu Hati di Griya Sawala gedung DPRD, Selasa (20/6/2023).
Dani menuturkan, hasil audiensi dengan Paguyuban Satu Hati dan Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Cirebon menegaskan bahwa berdasarkan UU Pokok Agraria Nomor 5/1960 lahan tersebut berstatus eigendom verponding atau lahan bekas hak barat yang dikuasai negara.
Adanya penguasaan lahan oleh oknum masyarakat atas lahan ini, Dani berharap GTRA segera melakukan upaya-upaya agar masalah pembangunan hunian di atas lahan 23 hektare itu segera diselesaikan.
Ia menilai, masyarakat pun menginginkan lahan Kutiong-Sentiong difungsikan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dan pemakaman.
“Hasil rapat ini, lagi-lagi BPN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bahwa tanah Kutiong-Sentiong merupakan tanah negara bekas hak barat. Karena itu kami berharap GTRA segera berkerja,” katanya.
Anggota Komisi I lainnya, Harry Saputra Gani mengatakan, dalam masalah pendudukan lahan seharusnya negara segera hadir menyelesaikan. Persoalan yang sudah berlangsung sejak tahun 2017 itu terjadi karena adanya transaksi jual beli lahan ilegal oleh oknum masyarakat dengan harga murah.
“Di sana ada jual beli lahan secara ilegal oleh oknum masyarakat dan banyak korbannya. Oknum itu terasa seperti kebal hukum. Jika negara memiliki lahan, maka harus mampu kembali menguasainya,” ujarnya.
Jika persoalan penguasaan aset lahan yang dikuasai negara ini terus menerus dibiarkan pemerintah, menurut Harry, maka bukan tidak mungkin akan muncul persoalan baru ke depan.
Ketua Perkumpulan Bakti itu mengingatkan kronologi lahan Sentiong dan Kutiong. Ia menjelaskan, pada tahun 1883, Mayor Tan Tjin Kie membeli lahan seluas 35 Bahu (setara 245.000 M2) untuk keperluan perkuburan pemakaman masyarakat dan komunitas Tionghoa dengan nomor akta Eigendom Verponding Nomor 1371/28 tertanggal 23 Febuari 1883.
Tanah tersebut terletak di Jalan Jendral Sudirman, Kelurahan Harjamukti dan Kelurahan Kalijaga Kecamatan Harjamukti. Berjalannya waktu, pada tahun 1959 surat letter C telah diterbitkan dan masih tercatat atas nama Tan Tjin Kie Nomor 1371.
“Kalau pemerintah siap dan mampu, harusnya segera melakukan penertiban dan penataan kawasan. Jika tidak mampu maka segera mengembalikan hak kepemilikan lagi ke penerusnya,” ujar Harry.
Di tempat yang sama, Kepala Kantor Pertanahan Kota Cirebon, Ruminah, SSi MEng menyarankan kepada GTRA segera melakukan rapat koordinasi untuk memutuskan persoalan pendudukan lahan tanah Kutiong-Sentiong.
Sehingga, landasan keputusan tersebut berasal dari GTRA, bukan keputusan sepihak dari BPN atau Pemerintah Kota Cirebon. Setelah adanya keputusan, maka BPN Kantah Cirebon akan melangkah lebih lanjut.
“Lahan ini statusnya bukan tanah bebas yang bisa langsung dikuasai negara. Solusinya, bagaimana GTRA melakukan koordinasi untuk adanya kesepakatan. Salah satunya tadi dibahas, tanah bekas hak barat ini peruntukannya untuk pemakaman dan RTH,” katanya. (Humas Sekretariat DPRD Kota Cirebon)
Komentar