Mengeja Ibu Pertiwi Melalui Tradisi

Oleh M. Khoirul Anwar KH.*

KAMIS, 14 Januari 2016. Jakarta mendadak dihantam oleh serentetan aksi brutal ledakan dan penembakan di sekitar Plaza Sarinah, MH Thamrin, Jakarta Pusat. Enam ledakan terjadi di dua tempat yang berbeda: tempat parkir Menara Cakrawala dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut. Sedikitnya delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan tewas dan dua puluh empat lainnya luka-luka akibat serangan ini.

Minggu, 13 November 2016. Suasana yang syahdu pada kebaktian sakral pagi itu mendadak ricuh bergemuruh. Suara teriakan dari para jemaat yang terkena percikan api menghantam gendang telinga dan dinding gereja. Nyanyian seriosa dan bait-bait kitab suci berubah seketika menjadi jerit tangis dan simbah darah. Bom molotov telah meluluh-lantakkan halaman gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur.

Intan Olivia Marbun yang tengah asyik bermain di depan halaman gereja bersama tiga temannya, Anita Kristobel Sihotang (2), Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4), dan Triniti Hutahaean (3), terkapar di antara luluh lantak sejumlah motor yang berserakan. Belakangan balita yang masih berumur 2,5 tahun itu harus meregang nyawa lantaran menderita sekitar 80 persen luka bakar di sekujur tubuhnya.

Sungguh tragedi demikian akan menjadi daftar maha panjang jika kita mau mengurainya lebih jauh. Tragedi yang telah mengaduk-aduk akal sehat dan nurani waras kita sebagai manusia. Tragedi yang melukai kebhinnekaan kita sebagai warga Nusantara. Tragedi yang telah mengkhianati amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 sebagai dasar nilai Republik Indonesia.

Sampai di titik ini serasa ada yang mengganjal di benak: kenapa agama mampu menjadi daya ledak seseorang manusia untuk menghancurkan manusia lainnya? Bukankah agama apapun senantiasa menitahkan pengikutnya untuk saling menebar welas asih ke segala penjuru mata angin? Apa artinya keagungan agama jika tidak menghargai harkat hidup kemanusiaan?

Dari deretan tanya itulah penulis teringat Sunan Kalijaga. Salah seorang punggawa Kesultanan Demak ini begitu memikat hati ketika menebarkan segala titah ilahi. Di dalamnya tak ada indoktrinasi apalagi represi. Dalam mengemban tugas kewaliannya, Sunan Kalijaga lebih memilih seni tradisi sebagai medium yang paling ampuh. Wayang kulit ia pilih karena lebih dekat dengan sisi inti spiritualitas masyarakat. Karena, kita tahu, kesenian adalah rohani masyarakat (saat itu?).

Maka benar saja, Sunan Kalijaga segera diterima oleh publik luas. Masyarakat pesisir utara Jawa, pelan tapi pasti, mengikuti pitutur sang dalang. Di sini, sang Sunan berhasil mensinergikan antara agama, (pola) pendidikan, dan seni tradisi. Bukan justru mempertentangkannya seperti yang marak saat ini. Lebih dari itu, Sunan Kalijaga juga mampu menghembuskan spirit agama tanpa bedil dan mesiu.

BACA JUGA:  AMPG Dorong Daniel Mutaqin Duet Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jabar

Amnesia Tradisi

Pada musim panas tahun 1971, Dewan Kesenian Rotterdam menggelar event Poetry International Rotterdam yang dihadiri oleh penyair dari 21 negara. Indonesia sendiri diwakili oleh sang Burung Merak, WS. Rendra. Kebanyakan penyair yang hadir membacakan puisi sembari diiringi oleh musik. Salah satunya adalah Adrian Henry, penyair cum penyanyi asal Liverpool, Inggris. Adrian, yang dekat dengan para awak kelompok musik The Beatles itu, sekonyong bertanya pada Rendra yang membaca puisi tanpa iringan musik: “kenapa Anda tak membacakan puisi sembari diiringi gamelan yang dahsyat itu?”

Pertanyaan Adrian, seturut penulis, masih relevan hingga saat ini. Di saat mayoritas masyarakat kita banyak terbuai dalam laju pesta globalisasi –plus segala ekses yang dibawanya-, seni tradisi seperti sengaja ditempatkan pada sisi yang paling pojok dan kumuh dalam perikehidupan kita sebagai bangsa. Konotasi yang lahir dari seni tradisi selalu bersifat subordinat dan bahkan alienatif –utamanya bagi kalangan muda pemuja budaya pop dan bagi pemula agama labil yang mengasup pengetahuan agama dari hasil impor.

Memang, ada semacam inner-phobia yang diam-diam kita simpan ketika sudah mendengar kata seni tradisi. Apapun macamnya. Kita seperti diwarisi semangat untuk tuna-budaya dan amnesia-sejarah. Apalagi, ketika pada dekade 60-an WS. Rendra, sebagai sastrawan yang paling digandrungi saat itu, dengan lantang bersabda: kebudayaan Jawa adalah kebudayaan kasur tua. Klop-lah semua pandangan sinis itu disematkan. Terlepas dari makna implisit apa yang sejatinya hendak disampaikan sang begawan teater ini.

Inner-phobia itu diperparah dengan media massa kita yang tak menyisakan ruang yang layak untuk gelanggang seni tradisi agar bisa unjuk diri. Terutama media kotak kaca: televisi. Acara-acara seperti My Trip My Adventure (Trans TV), Opera van Java (Trans7), Menu Lokal (Kompas TV) hanya menjadikan seni tradisi sebagai lipstik dan bahkan parasit. Atau, paling jauh, hanya semacam medium klangenan yang tak melahirkan elan spirit apapun.

Fakta ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang kadang abai pada penggiat seni tradisi. Kita lihat, para pegiat seni tradisi di pelosok-pelosok nusantara ini saban hari harus puasa dari sisi ekonomi. Tak banyak yang dapat diharapkan dan dibanggakan dari pejuang seni tradisi. Seperti Suwitri (78), maestro topeng asal Slawi yang sehari-hari harus berjualan nasi bungkus dan gorengan demi asap dapur agar tetap menyala. Padahal gelar maestro yang diberikan pemerintah mewajibkannya untuk mengajar tari topeng Slawi ke berbagai tempat.

BACA JUGA:  SMK Wahidin Tambah Ruang Kelas untuk Tampung Siswa Baru

Begitu juga dengan maestro tari topeng Cirebon, Mimi Rasinah. Meski bergelar maestro, semasa hidupnya ia tetap harus mencari nafkah dengan mengasuh anak-anak tetangga lantaran tunjangan pemerintah yang jauh dari kata layak (Kompas, 24/09/12). Di tengah euforia yang mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya, tentu fakta ini amat mengiris hati.

Mengeja Pertiwi

Daripada terus menerus memplagiat model keagamaan khas Timur Tengah, ada baiknya kita telaah lagi model keberagamaan kita yang khas Nusantara. Keberagamaan yang menyatu dengan tradisi hingga melahirkan kekhidmatan dan kebersahajaan. Karena dari seni dan tradisilah muara kebijaksanaan kerap mengalir dengan derasnya. Maka tak perlu lagi kiranya mendaras literatur-literatur agitatif yang jauh dari elan vital tradisi keberagama(a)n kita. Yang kita butuhkan hanya kembali lagi ke habitus tradisi dimana kita dilahirkan.

Seperti yang bisa kita simak dalam Serat Kalatida pupuh Sinom bait ke-10, pujangga Ronggowarsito melantunkan tembang indah: “Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana wirayat muni, Ichtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kang kaesthi antuka parmaning Suksma [apapun dilakukan untuk membuat orang senang, prinsipnya asal tidak menimbulkan persoalan. Ini sesuai petuah bahwa manusia itu wajib ikhtiar, tapi harus memilih cara yang paling baik. Usaha tersebut perlu dibarengi kehati-hatian agar mendapat rahmat Tuhan]” (Abdul Munir Mulkhan, 2005:21). Pernahkah para pencaci bhinneka itu membaca serat ini?

Juga ketimbang terus menerus menjadikan khazanah bagian dunia lain sebagai kiblat pendidikan dan kebudayaan, ada baiknya jika kita menengok lagi seni tradisi negeri sendiri sebagai momentum mengeja Ibu Pertiwi. Lantaran jatidiri dan ekspektasi tak bisa kita lacak hanya melulu dari koordinat geografis yang melingkupinya, melainkan dari sejauh mana kita mengenal dengan baik seni tradisi yang dibuahkan dari keringat nalar para leluhur.

Disamping itu, seni tradisi juga mampu menjadi moda penetralisir dari gempuran-gempuran paket budaya yang hegemonik seperti Hollywood, Bollywood, K-Pop, Arabisme, dan sebagainya. Seperti ujar Fritjop Capra, pakar post-modernisme, seni tradisi adalah semacam tetirah, atau halte perenungan, bagi manusia abad digital ini yang telah dikelabui oleh kedigdayaan positivisme sains modern sejak abad renaisans dan aufklarung merebak di Eropa (Derrida, 2005:12).

Mungkin saatnyalah kini bagi kaum terpelajar bangsa ini untuk kembali mengeja seni tradisi. Menziarahi pedalaman Ibu Pertiwi. Suwitri dan Mimi Rasinah sudah melakukan upaya nyekar ing sukma nuswantara itu. Sekarang: maukah Anda turut andil di dalamnya?

*Penulis adalah Penggiat Literasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *