Lukisan Cirebon (2) – Surealisme Iskandar Abeng

Oleh NURDIN M. NOER*

-dok istimewa/NMN
PERAHU karya Affandi (kiri) dan Werkudara karya Iskandar Abeng (kanan)*

TANPA sadar rupanya pelukis muda asal Plered Kabupaten Cirebon melaju ke arah surealisme. Aliran ini dipahami sebagai bentuk karya seni dan sastra yang bertujuan menggambarkan imajinasi yang ada dalam mimpi. Aliran ini tumbuh subur pada sekira tahun 1920 hingga 1930-an. Menduduki tempat penting dalam genre seni lukis di Eropa.

Namun Iskandar sendiri, ketika ditanyakan hal itu, ia hanya menjawab secara sederhana. “Saya pernah bekerja di bengkel dan suka nonton wayang, karena itu lukisan-lukisan saya terfokus pada wayang dan dan gerak mesin pabrik,” katanya. Iskandar memamerkan sejumlah karyanya secara tunggal di galeri sebuah toko buku terkenal di Jalan Cipto Mangunkusumo Kota Cirebon selama seminggu, dari 8 hingga 14 Maret 2016.

Di samping surealisme, muncul pula gaya “realisme sosial”. Aliran ini dikembangkan secara bertahap di Uni Soviet pada kurun Revolusi Bolshevik (1917). Secara umum, kata “realism social” berarti seniman harus menggambarkan kejadian sesungguhnya dan orang-orang yang idealis, cara optimistis memberikan sekilas masa depan yang gemilang.

Bagi Uni Soviet di bawah Komunisme, seni adalah untuk melayani masyarakat dan dapat diakses oleh massa. Seniman yang tidak sesuai dengan aturan realisme sosialis mungkin harus disingkirkan dari pekerjaan, diasingkan, atau dibunuh. Berbeda sekali dengan suasana tahun 1920-an, saat seni avant-garde didorong sebagai bagian dari semangat revolusioner, semua yang disebut formalis, seni progresif, seni terutama abstrak, yang mencela sebagai kapitalis dan borjuis.

Gambaran realitas sosial, Iskandar Abeng tentu saja sangat berbeda dengan realitas Uni Soviet pada kurun 1917-an. Bahkan Iskandar pun tak mengenal istilah itu. Subjek populer yang digambarkan, termasuk adegan pekerja di pabrik-pabrik, potret yang memuliakan tokoh-tokoh pewayangan, seperti Semar, Werkudara dan gambaran manusia mesin dan penggambaran ideal dari kehidupan masa kini. Gaya, seniman didorong untuk meniru karya pelukis Rusia Ilya Repin, meskipun beberapa diproduksi dan disederhanakan dengan kondisi nyata di lingkungannya.

BACA JUGA:  Jelang Ujian Nasional, Ratusan Peserta Didik SD Kartini Gelar Istighosah

Realitas sosial yang digambarkan Abeng juga merupakan potret terjadinya “benturan antar peradaban” dalam tulisan futuris Samuel Huntington (1990-an). Antara budaya pertanian, tradisi yang digambarkan dengan wayang-wayang yang pada dadanya berisi mesin-mesin pabrik yang gemuruh. Sang Semar yang samar pelahan pergi dari layar peradaban. Sementara Semar yang Jawa dengan keluguannya ingin menjadi “manusia Indonesia”, meski ia harus berhadapan dengan modernisasi.

Di sini seniman seakan diminta untuk memberikan “gambaran historis konkret realitas” dalam pengembangan imajinasinya. Dalam catatan seorang kurator seni rupa, Heru Hidayat, Cirebon merupakan wilayah yang kaya akan peninggalan nilai-nilai tradisi yang tetap bertahan. Abeng juga mempraktekkan seni rupa modern, sebagai bagian dari modernisasi yang ia hayati merupakan pewaris dari pergulatan ihwal modernisasi, perbenturan nilai baru yang tak kunjung usai dari abad ke abad.

Akankah Semar akan menjadi “manusia Indonesia” seutuhnya di masa depan? Hanya Abenglah yang bisa menafsirkan semua ini. []

*Pemerhati kebudayaan lokal.

Komentar