Kampanye Pilgub Jabar 2018 Rentan Isu SARA

  • Bagikan

Majalengkatrust.com – Sekretaris Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman) Jawa Barat, Iji Jaelani mengatakan, dalam perhelatan pilkada Jawa Barat yang tidak lama lagi, masyarakat dihadapkan pada 3 issue utama.
Pertama, issue pilkada DKI Jakarta dibawa ke Jawa Barat, atau issue pusat di bawa ke daerah. Issue ini terlihat dari koalisi KMP-KIH beserta turunannya. Begitu juga issue SARA yang marak terjadi.

“Kedua, issue tata ruang, yakni desa dan kota, mengenai issue apakah desa memimpin kota karena luas wilayah Jawa Barat lebih berada di pedesaan, atau Kota memimpin desa karena kota yang mempelopori perubahan. Ketiga, issue popularitas calon yang terus digoreng, hingga saat ini Ridwan, Dedi Mulyadi, dan Dedi Mizwar saling beradu ketenaran,” kata Pria asal Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka ini, Kamis (07/09).

Menurut Pasca Sarjana Ilmu Politik UIN Bandung ini, isu sudah usang karena menggunakan pendekatan prilaku politik tradisional, yakni demografis-sosiologis, psikologis, dan ideologis. Kedua, issue tersebut bukan merupakan issue pokok yang dibutuhkan masyarakat karena semua issue tersebut bukan kebutuhan pokok masyarakat.

“Permasalahan ketimpangan ekonomi di Jawa Barat masih cukup besar untuk segera dituntaskan. Sebenarnya, luas wilayah yang besar, sumber daya alam melimpah, dan jumlah penduduk yang banyak bisa menjadi faktor utama keberhasilan, jika saja didorong oleh infrastuktur dan akses teknologi dan informasi yang memadai, serta yang lebih penting adalah kebijakan yang mendorong pentingnya masyarakat berdikari dan menjadi produsen di daerah sendiri,” ujar dia.

Dikatakan dia, ketergantungan merupakan virus mematikan yang tumbuh di republik ini, termasuk di jawa Barat. Setidaknya, ada 3 alasan terhambatnya kemajuan dan kemandirian di jawa barat. Pertama, sisa feodalisme menyebabkan mental pejabat mencari untung dari jabatannya, sehingga program tidak berjalan sampai pada sisi dampak bagi masyarakat. Kedua, sisa kolonial yang menyebabkan masyarakat kapitalis konsumtif, bukan kapitalis produktif, dampaknya minimnya produktivitas dan konsumerisme tinggi.

BACA JUGA:  Jelang New Normal, Kemenag akan Luncurkan Kebijakan Revitalisasi Rumah Ibadah

Penduduk yang demikian banyak akhirnya hanya menjadi pasar di negeri sendiri. Ketiga, secara psikologis, sisa kolonial ini menyebabkan masyarakat rendah diri dan lebih bangga dengan produk asing dan budaya asing, baik budaya barat maupun budaya timur tengah. Akhirnya, miskin secara ekonomi, miskin secara budaya.

Dengan demikian, solusi yang perlu didorong adalah dengan kebijakan yang memutus mata rantai pemiskinan ekonomi dan budaya dengan cara kembali kepada jati diri warga Jawa Barat.

Karena itu, lanjut dia, jika kampanye politik sudah dimajukan dalam bentuk kebijakan strategis memutus ketergantungan, tidak akan ada lagi masayarakat yang akan menolak. Kampanye pendekatan agama dan etnis pada akhirnya menjadi kampanye balon udara yang menguap sehingga tidak mendapat tempat di hati masyarakat.

“Selain persoalan penguatan madrasah diniyah sebagai pendidikan karakter, sektor ekonomi strategis seperti kebijakan pangan dan maritim, memperpendek jalur distribusi sehingga harga menjadi murah, BUMDes yang sehat, ekonomi berbasis ekologis, serta silang budaya desa kota sehingga kesenjangan di Jawa Barat bisa semakin diminimalisir,” pangkas dia. (Abduh)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *