Oleh DADANG KUSNANDAR*
Tukang sapu kuli sapu besar jasamu/ Mandor kotor/ Kuli kotor/ dan semua yang kotor/ Awas kena sensor.
(Iwan Fals)
LAGU tahun 1980-an yang disenandungkan Virgiawan Listianto alias Iwan Fals seketika terlintas dalam ingatan. Yang kotor-kotor memang harus disapu bersih, supaya lantai mengkilap lagi. Ingatan akan lagu itu meruyak manakala kita dihadapkan pada penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang dapat memberi rasa nyaman dan aman bagi seluruh rakyat.
Apa jadinya kalau pemerintahan suatu daerah dipimpin oleh seseorang yang tidak memiliki visi bagi pembangunan daerahnya? Jawabnya pasti, daerah tersebut tidak pernah akan maju dan berkembang. Daerah itu mengalami stagnasi dan gagal menggerakkan dinamika ekonomi, sosial, politik dan budaya setempat. Kepala daerah yang tidak visioner hanya heboh tatkala tuntutan masyarakat terhadap kepemimpinannya menguat. Sayangnya ia heboh sesaat saja, setelah itu kembali pada kondisi semula, tidak membenahi sistem yang ada.
Sebuah pesan pendek melalui whatsapp dari Sdr. Johandi berbunyi demikian: “Mang jaluk pengantar acara karepe priben sebagai refleksi ketidakjelasan pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan artie bli jelas visi mau apa, karepe priben”. Saya terperangah sekaligus ingat lagi akan lagu Iwan Fals di atas, “Tukang sapu kuli sapu. Juga disapu. Ko bisa begitu”.
Pasalnya sederhana saja. Hasrat menjadi pemimpin daerah, mau tidak mau harus disertai kemampuan managemen pemerintahan. Terlebih kerasnya tantangan ke depan, meningkatnya problem kebangsaan, serta inefisiensi anggaran daerah yang tak pernah usai. Di sisi lain masyarakat sebagai konsumen kebijakan daerah harus patuh memenuhi setiap peraturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Pada dua kutub berseberangan itulah muncul gaya tolak menolak, pinjam ilmu Fisika sederhana. Bila tolak menolak terus berlangsung, pemimpin vis a vis dengan yang dipimpin, mungkinkah pemerintahan yang bersih dapat mewujud? Begitu pula, mungkinkah pemimpin daerah mendengar suara parau masyarakatnya?
Sejak digelindingkannya isu pemerintahan yang bersih : good governance and good government pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, semua kepala daerah di Indonesia bergeliat dan berbenah. Semuanya ingin jadi pelaksana pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang pada alinea ketiga Preambule UUD 1945.
Tujuan kemerdekaan itu di antaranya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hubungan inilah tuntutan masyarakat terhadap kepala daerah merupakan benih unggul proses pencerdasan itu. Dengan kata lain tuntutan masyarakat tidak/ jangan dimaknai sebagai pembangkangan kepada kepala daerah. Melainkan dengarkan dan pelajari secara cermat tuntutan itu lantas segera ambil sikap/ kebijakan yang sinergi dengan pembangunan daerah.
Pemerintahan yang bersih merupakan kedambaan seluruh masyarakat. Hal yang sama juga dikehendaki oleh pelaksana pemerintahan (eksekutif). Dengan kinerja yang sepaham bersama legislatif, kepala daerah mestinya cepat tanggap menangkap setiap persoalan yang muncul di daerahnya. Ia pun mesti dibekali kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving) sehingga tidak dijadikan bahan olok-olok masyarakat. Masyarakat yang diam-diam memperolok pemimpinnya/ kepala daerah menandakan adanya sumbatan komunikasi.
Di bawah leadership yang tangguh dan berbekal visi pembangunan yang mencakup seluruh kebutuhan dasar masyarakatnya, pada saatnya kelak sang pemimpin tidak akan ditanya secara menyakitkan oleh masyarakatnya sendiri: Karepe Priben? []