KUNINGAN (CT) – Berdasarkan hasil penelitian pemetaan siklus iklim Indonesia yang dilakukan oleh Greenpeace bekerjasama dengan Harvard University, didapat data ribuan orang di Indonesia meninggal dunia setiap tahun, diduga akibat terpapar polutan PM 2,5 batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Batu bara yang dibakar PLTU memancarkan sejumlah polutan, seperti NOx dan SO3 yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM 2,5 (partikulat debu melayang). Itu angka paling tinggi se-Asia Tenggara,” papar Didit dari Greenpeace Indonesia, salah seorang pemateri pada acara Pelatihan Masyarakat Anti Batu Bara tingkat nasional, yang diadakan oleh 350 Indonesia bekerjasama dengan RAPEL di Villa Anugerah, Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Rabu (10/02).
Didit mengungkapkan, hal yang paling sulit dalam mengkampanyekan dampak PLTU batu bara tersebut, yakni terkait pemahaman masyarakat. Pasalnya, kelompok-kelompok intelektual atau mahasiswa tidak mau mendampingi masyarakat dalam hal penolakan batu bara tersebut, parahnya, banyak kaum intelektual yang tidak paham dampak batu bara itu.
“Ketidak pahaman masyarakat yang akhirnya dimanfaatkan oleh para investor. Ada salah satu kampus terkenal di Jakarta, kami lakukan survey pemehaman batu bara, dan hasilnya pemaham mereka masih rendah. Jadi wajar jika masyarakat yang tertindas tidak mendapatkan pengawalan dari kaum intelektual,” ungkapnya.
Lebih lanjut Didit mengatakan, proyek listrik pemerintah 35 ribu MW, sebagian besarnya dibangun di Pulau Jawa, karena jawa akan dijadikan wilayah industrial.
“Jawa itu fokus utama pembangunan PLTU,” katanya.
Sementara itu, Warpa (39), Nelayan asal Cirebon yang menjadi peserta pelatihan tersebut, mengeluhkan dampak dari PLTU batu bara Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura.
“Semenjak ada PLTU saya nggak bisa mencari ikan lagi, karena mati semua karena limbah batu bara,” pungkasnya. (Riky Sonia)