CIREBON (CT) – Organisasi Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) Cirebon, tetap berkomitmen menolak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. RAPEL konsisten mengkampanyekan dampak dari batu bara, bahkan hingga ke mata dunia internasional.
Hal itu dilakukan karena RAPEL sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah Indonesia. pasalnya, kejahatan-kejahatan yang dilakukan PLTU I Cirebon, hingga saat ini tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur Eksekutif RAPEL, Moh. Aan Anwarudin dikediamanya, Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, saat menerima kedatangan aktivis lingkungan asal Australia dan Filipina, yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Sabtu (06/02).
Dikatakan Aan, RAPEL dengan tegas menolak pembangunan PLTU II, dan tetap berharap PLTU I ditutup. Karena menurutnya, dampak dari batu bara yang digunakan PLTU sangat luar biasa. Bukan hanya merusak ekosistem lingkungan dan memberikan dampak buruk terkait kesehatan saja, akan tetapi juga mempengaruhi tatanan budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar.
“Nelayan banyak yang gulung tikar. Lahan-lahan produktif seperti tambak garam dan sawah-sawah berkurang, serta banyak yang terkontaminasi oleh polusi batu bara, sehingga mempengaruhi produktifitas hasil panen,” ungkapnya.
Mantan Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Cirebon itu menuturkan, sudah banyak aktivis lingkungan internasional yang datang dan studi banding dengan RAPEL, terkait dampak PLTU batu bara di Cirebon.
Dirinya pun akan tetap terbuka, terhadap para aktivis atau organisasi lingkungan, baik lokal maupun asing, yang ingin studi banding atau berdialog dengan RAPEL.
“Selain dari Australia dan Filipina, sebelumnya banyak yang datang ke kami. Dari Amerika, Thailand, dan Jepang. RAPEL pun pernah mengadakan seminar internasional, yang dihadiri oleh negara-negara yang di daerahnya terdapat PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara,” tuturnya. (Riky Sonia)