Di Laut Kita Jaya?

Oleh DADANG KUSNANDAR*

TIDAK terhitung banyaknya kekayaan laut kita yang telah dipampas orang lain, sementara kehidupan nelayan masih belum pulih dari kemiskinannya. Sudah saatnya kedaulatan laut, sesuai jargon Jales Veva Jaya Mahe (di laut kita jaya), terbukti. Ini penting karena menyangkut kekayaan besar yang dapat menghidupi jutaan nelayan Indonesia.

Membicarakan laut sepertinya mengenal sebuah dunia tanpa batas. Sejauh mata memandang, air tampak begitu mendominasi dan merupakan kekuatan tak terkalahkan. Sudah banyak film dan cerita yang mengisahkan kedahsyatan laut ketika murka. Istilah may day pun kabarnya muncul sebagai tanda permohonan bantuan bagi mereka yang terjebak dalam badai lautan.

Bagi Indonesia, laut bukan hal baru. Dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut. Beberapa selat, teluk dan laut saling berdekatan jaraknya. Dan kita mengenalnya sejak mempelajari Geografi atau Ilmu Bumi saat sekolah.

Laut bagi masyarakat Indonesia pun bahkan didendangkan dalam sebuah lagu anak-anak, “Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menempuh badai tiada takut. Menerjang ombak sudah biasa”.

Lagu itu mengajak dan mengukir kerinduan tentang laut. Laut dengan segala kandungannya. Tak sekadar ikan dan tangkapan lain. Tetapi juga mineral yang sangat memberi arti bagi kelangsungan hidup manusia di darat. Berbagai kekayaan mineral itu hingga kini masih belum dikelola dengan baik oleh anak negeri.

Wajar jikalau pengembangan potensi kelautan pun didukung oleh penyediaan fasilitas dan sarana bagi tercapainya kedaulatan laut. Salah satunya adalah pelabuhan sebagai tempat singgah kapal bertonase besar agar mampu menghidupkan ekonomi masyarakat.

Kedaulatan laut dengan demikian inheren dengan dinamika perekonomian. Akan banyak melibatkan beberapa kementerian terkait lantaran perlu daya dukung anggaran dan skill yang tidak kecil.

Ironinya pengelolaan laut Indonesia (oleh orang asing) bukan lantaran ketidakmampuan teknologi eksploarasi dan pengolahan hasil laut, melainkan karena pemerintah selalu kalah dalam diplomasi tentang batas laut internasional. Susah dibayangkan jika di antara Pulau Jawa dan Kalimantan terbentang laut internasional. Saya kira kedaulatan laut Indonesia memang memprihatinkan. Kita yang punya laut akan tetapi orang asing dengan kekuatan kapital dan politiknya membagi-bagi laut Indonesia.

BACA JUGA:  Pendidikan Karakter

Mengutip Omar Mochtar, masalah perbatasan Indonesia mulai mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956–14 Maret 1957). Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu masih diatur oleh peraturan warisan Belanda yang dikenal dengan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (selanjutnya disebut Ordonantie 1939).

Dalam Ordonantie 1939 ditentukan bahwa jarak teritorial bagi tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis pantai masing-masing pulau. Peraturan itu memunculkan banyak wilayah laut bebas di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Laut bebas ini membuat wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah. Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar itulah, Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat RUU tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim ini berdiri berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.

Panitia Pirngadi, setelah hampir satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan garis teritorial yang sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.

Kabinet Djuanda masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian memberikan gagasan yang disebut Archipelagic Principle yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Sebagai alternatif terhadap RUU dan gagasan Archipelagic Principle itu kemudian dibuatlah konsep ’Asas Negara Kepulauan’. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus segera mengesahkan RUU tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea di zona laut yang bebas.

BACA JUGA:  Jembatan Arah Bandara Kertajati Rusak, Lalu Lintas Dialihkan 14 Hari

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982.
Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia, serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.
Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian.

158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Yang menarik dari Konvesi ini, Amerika Serikat belum meratifikasi UNCLOS sejak tahun 1982. Padahal justru negara itulah yang paling getol mengaduk-aduk laut di negara lain. Paling doyan mengeruk kekayaan laut negara lain bagi kepentingan dan kelanggengan ekonominya.

Mampukah diplomasi Indonesia dalam hukum internasional laut tidak melulu kalah oleh kepentingan asing. Dengan kata lain tidak serta merta didikte oleh kemauan negara lain yang dianggap memiliki modal dan kekuatan politik. Di dalam cengkraman kekuatan asing itulah, jutaan metrik ton kekayaan mineral yang bersumber dari perairan Indonesia diangkut oleh negara asing ~hanya karena alasan laut internasional. Sampai kapan? []

*Kolomnis, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *