Buku (1/2)

Oleh DADANG KUSNANDAR

TEKNOLOGI berderak makin maju.  Jutaan anak Indonesia mahir menggunakan ponsel android. Mau tidak mau, buku makin menjadi barang langka. Pemandangan yang biasa terlihat di segala ruang publik adalah memainkan ponsel android. Segala umur. Sepertinya tidak ada hari tanpa ponsel.

Membaca buku menjadi `mahal` dan orang tua perlu energi tambahan untuk menyuruh anak membacanya. “Ayo nak, belajar. Baca buku cetak, besok kamu ulangan umum. Kamu harus bisa menjawab soal-soal yang diujikan seminggu ini”. Anak dan orang tua berdebat, tapi bukan mengulas isi buku melainkan agar anak mau membaca buku. Agar ulangan di sekolah besok anaknya bisa mendapat nilai bagus. Jika membaca buku pelajaran saja harus disuruh, bagaimana dengan membaca buku pengetahuan umum (tambahan) di luar buku paket sekolah? Anak kita memang membaca. Membaca dan menulis sms menggunakan bahasa gaul. Membaca selintas kisah selebritis televisi dari majalah remaja, lantas diperbincangkan sesama kawan-kawannya. Selebritis muda, ganteng, cantik, kaya, pandai nyanyi, sering main sinetron, model produk iklan bisnis — jauh lebih akrab daripada tokoh hero lokal, bahkan lebih dipahami hidupnya daripada perjalanan hidup nabi dan orang-orang suci.

Begitu pentingkah membaca buku? Tidakkah kini sudah berganti oleh teknologi informasi yang mampu menjangkau dan menjelajah penjuru mana pun di dunia melalui website yang mudah diakses? Bukankah ponsel, laptop dan Personal Computer merupakan perpustakaan elektronik tanpa tanding? Lalu buat apa membaca buku jikalau amazone.com selalu mengabarkan buku-buku baru dari seantero bumi tanpa harus membeli buku ke toko. Tanpa beringsut dari depan layar monitor komputer portable atau komputer jinjing, anak dapat membaca.

Bila lelah lantaran membaca pengetahuan melalui dunia maya, ia klik facebook, line, whatsapp, atau instagram dan sejenisnya untuk saling berbagi dan menyapa teman-teman dunia maya. Ya, dunia virtual yang instan mengubah pola pikir kita menyoal buku; tidak mustahil mengubah penilaian kita tentang banyak hal. Dunia virtual seakan hadir nyata di depan mata dan kita tak berkutik melawannya. Bahkan kita masuk sebagai konsumen dunia virtual karena merasa hebat, tahu apa saja yang ingin kita ketahui. Alhasil buku tersingkir, tergadai. Betapa sedihnya. []

BACA JUGA:  Dikotomi Ritel Modern dan Tradisional Sepantasnya untuk Segera Ditanggalkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *