-dok istimewa/Jeremu Hwang
TAN Tjin Kie dan istrinya tahun 1913 (kiri) dan dan diduga makam Tan Tjin Kie yang telah menjadi rumah.
Oleh: Nurdin M Noer
KAMPUNG Dukuh Semar (dekat Terminal Harjamukti Cirebon – saat ini) sudah jauh berubah dibanding seratus tahun lalu. Pada awal tahun 1900an kampung itu merupakan tempat “bong Cina” (kuburan Cina). Pada lima tahun lalu masih tersisa sebuah “bong” (makam) yang terbuat dari batu yang keras. Letaknya bersebelahan dengan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dukuh Semar Kelurahan Drajat.
Kini ketika penulis ketika penulis kembali mencek bong tersebut, ternyata sudah berubah menjadi taman yang dibangun masyarakat kampung setempat. Kampung tersebut telah berubah menjadi permukiman yang padat. “Umumnya warga yang tinggal di sini merupakan penduduk baru,” kata Nunu (35) yang mengaku tinggal di kampung itu selama delapan tahun. “Jadi saya tak mengetahui, jikadi kampung ini terdapat bong Cina.”
Tak hanya puluhan makam etnis Tionghoa yang hilang, tetapi juga sisa beberapa ”bong” yang terletak di belakang Terminal Harjamukti yang terlihat pada lima tahun lalu, kini rata dengan tanah. Hanya puing-puing bekas pasar pindahan Pasar Jagasatru yang ditinggalkan penghuninya.
Kisah tentang Tan Tjin Kie ini ditulis oleh Tan Gin Ho dalam bahasa Malayu Tionghoa, kemudian pada tahun 2004 dialihbahasakan oleh Dr. Ie Tiong Bie alias Iwan Satibi warga Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Iwan mengagumi tokoh Tionghoa tersebut, setelah ia membaca buku tentang Kelenteng Tiao Kak Sie yang ditulis oleh Ezerman.
Dalam catatan Iwan Satibi disebutkan, Tan Tjin Kie pada waktu itu adalah orang terkaya di Cirebon. Memiliki lebih dari seratus rumah yang disewakan, terletak di jalan-jalan protokol Kota Cirebon. Memiliki Pabrik Gula Luwung Gajah di Ciledug, dan sebuah gedung mewah mirip istana di depan pabrik tersebut yang bernama Gedung Binarong. Ia juga memiliki beberapa rumah tempat peristirahatan. Di antaranya rumah peristirahatan pesisir yang kini menjadi Sekolah Santa Maria, dan rumah peristirahatan Tambak di Dukuh Semar. Sedangkan Tan Tjin Kie bersama keluarganya tinggal di sebuah rumah kuno di Jl. Pasuketan Kota Cirebon, yang waktu itu usianya sudah sekitar dua abad.
Rumah bekas tempat tinggal Tan Tjin Kie itu sekarang menjadi show room mobil mewah. Gedung Binarong sudah tidak berbekas, yang tertinggal hanya potongan pilar bekas pagar halaman. Pabrik Gula Luwunggajah pada tahun 1922 dijual oleh ahli warisnya, kemudian dibongkar dan dipindah ke Desa Pabelan dengan nama Pabrik Gula Tersana. Kemudian dibongkar lagi dan dipindah ke Babakan dengan nama Pabrik Gula Tersana Baru sampai sekarang.
Konon, selain Tan Tjin Kie pada waktu ada pula beberapa warga Tionghoa yang kaya raya karena menjadi pachter (agen resmi) candu. Tapi Tan Tjin Kie tidak mau terlibat dalam bisnis haram tersebut, karena dilarang orangtuanya. Ia pun melarang keras anak-anaknya terlibat bisnis candu. Karena itulah Tan Tjin Kie disegani kalangan Tionghoa dan dihormati tokoh-tokoh pribumi. Ia dikenal dermawan dan tercatat sebagai salah seorang donatur dalam pembangunan rumah sakit. Banyak membantu masyarakat yang tidak mampu, sehingga dicintai banyak orang. Dekat dengan keluarga keraton Cirebon dan akrab dengan komunitas masyarakat Arab yang ada di Kota Cirebon.
Tan Tjin Kie juga dikenal sebagai seorang pluralis. Kendati ia sendiri menganut agama Khong Hu Chu dan menjadi Ketua Kelenteng Tiao Kak Sie dan pengurus Klenteng Boen San Tong (Vihara Pemancar Keselamatan) Winaon, tapi ia juga mendirikan mesjid di lingkungan pabrik gula miliknya, yang dikenal dengan sebutan masjid Nona, dan juga menjadi donatur pembangunan gereja.
Ketokohan Tan Tjin Kie mendapat perhatian dari pemerintahan kolonial Belanda, yang kemudian pada tahun 1882 mengangkatnya sebagai Laitenant Der Chinezen, letnan titular dari warga Tionghoa di Cirebon. Kepangkatannya dinaikkan terus sampai Mayor Tituler ketika Tan Tjin Kie berusia 60 tahun. Bukan hanya itu, ia juga mendapat penghargaan Gouden Ster Van Verdienste, semacam bintang jasa pengabdian, dan diangkat menjadi anggota Gewestelijkan raad, semacam dewan yang beranggotakan orang-orang Belanda.(NMN/pik)***
*Penulis adalah pemerhati kebudayaan lokal.