Bhineka Tinggal Luka

Oleh DADANG KUSNANDAR*

SECARA harfiah sumpah bisa diartikan komitmen. Sumpah lebih tinggi dibanding janji. Meski sama-sama punya konsekuensi, sumpah mengandung risiko lebih besar. Akan tetapi lantaran risiko itulah sumpah harus diyakini sebagai suatu kesungguhan untuk menerapkan isi/ konten sumpah di dalam kehidupan nyata.

Sumpah juga menunjukkan adanya kebersamaan. Senasib sepenanggungan, satu institusi, satu komunitas, bahkan satu bangsa. Inilah agaknya yang menginspirasi Mochamad Yamin dan kawan-kawan di tahun 1928 menggelorakan sumpah. Sumpah yang dicatat sejarah sebagai manifestasi keinginan para pemuda menyatakan identitas kebangsaan Indonesia.

Semua tahu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Juga kita tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan oleh Wage Rudolf Supratman melalui gesekan biolanya bersamaan dengan peristiwa luar biasa itu. Dan 89 tahun kemudian, tahun 2017 ini masih tergetarkah kita menyaksikan Sumpah Pemuda?

Sejarah jangan sampai jadi belenggu bangsa sehingga tak kuasa menghadapi tantangan masa depan. Masa keemasan sejarah dengan segala warna buramnya kiranya mesti disikapi bijak bestari. Artinya jika pada 1928 para pemuda berkumpul di lapangan terbuka lalu menggelorakan Sumpah Pemuda dengan subtansi Satu Indonesia, 89 tahun kemudian para pemuda Indonesia bersumpah di hadapan diri dan Tuhannya demi Satu Indonesia.

Satu Indonesia dimaksud adalah generasi milinea yang terbebas dari rasis. Generasi yang telah selesai dan keluar dari penilaian berdasar perbedaan fisik/ anatomi, suku, bangsa, bahasa, budaya dan agama. Generasi milenia yang mengedepankan persamaan sebagai sesama mahluk Tuhan dengan keberbagaiannya.

Justru di atas keberbagaian itulah generasi milinea tumbuh dan berkembang. Semakin tampak perbedaan semakin kuat keingintahuan mengenal satu sama lain. Di sinikah sesungguhnya makna Bhineka Tunggal Ika. Bukan bhineka tinggal luka. Para pemuda yang bersumpah setia pada 1928 itu sadar betul tentang Bhineka Tunggal Ika.

BACA JUGA:  Pembahasan Jasad Teroris Diwarnai Kericuhan

Dan demikian pula generasi milinea memahami bhineka dengan persepsi kekinian.
Tidak ada yang salah karena yang terpenting adalah memperlihatkan prestasi gemilang untuk sebuah masa depan digital yang terus menuntut kreativitas. Tantangan generasi milinea saya kira jauh lebih berat ketimbang tantangan generasi 1928.

Maka di atas tantangan yang kian berat itu kiranya Generasi Milinea harus mampu tegak berdiri di tanah air Indonesia tercinta dan menghalau Bhineka Tinggal Luka. []

*) Penulis lepas, tinggal di Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *