oleh

Bekasi Timur Suatu Siang

Catatan DADANG KUSNANDAR*

MENUNGGU bus Jakarta-Kuningan punya cerita sendiri. Siang terik Sabtu 20 Januari 2018 di pintu tol Bekasi Timur I calon penumpang bus berkerumun. Angin kencang di tempat terbuka meniupkan debu yang memedihkan mata.

Lalu lintas semrawut dan tidak ada petugas berwenang yang mengatur. Hanya pak ogah yang berdiri dan mengatur agar lalu lintas kendaraan dapat berjalan. Ojek online pun turut serta menambah semrawutnya lalu lintas. Bus ke arah Cikampek, Purwakarta, Bandung, Majalengka, Kuningan–seakan dapat fasilitas memarkir kendaraannya di tikungan masuk pintu tol itu.

Suasana semakin semarak atas kehadiran para pedagangan asongan dan pedagang kecil yang memanfaatkan area perhentian bus antarkota. Tampak beberapa pengamen dan calo mengadu untung di sana. Ingar bingar raungan mesin mobil, teriak kernet/ kondektur menambah kebisingan.

Tetapi calon penumpang rela mendapati suasana tidak nyaman itu. Menunggu dan berlari mengejar bus mengingat sedikitnya waktu perhentian. Berlindung dari sengat sang surya di lapak pedagang air mineral sambil menanti kehadiran bus ke kota tujuan.

Pembaca budiman, terlihat di antara penunggu tetap pintu tol masuk Bekasi Timur I itu lima lelaki muda mengambil tempat di balik pagar besi pembatas. Beralas kardus bekas minuman mineral seseorang asik menggambari gitar kecilnya dengan ballpoint warna merah dan hitam. Lalu ia memotretnya dan diunggah ke media sosial. Temannya yang lain sibuk menghitung uang hasil mengamen kemudian uang itu diserahkan kepada seorang bertubuh gempal yang baru datang. Tergesa ia hanya menerima setoran lalu menghilang.

Persis di samping pagar pembatas terdapat tanah kosong agak curam yang ditumbuhi pepohonan liar. Ternyata tempat itu digunakan siapa saja sebagai toilet darurat.

Berbincang dengan para pengamen dan pedagang asongan di pintu tol Bekasi Timur I menimbulkan keasikan tersendiri. Sepertinya kebebasan berekspresi sebagaimana yang kerap disampaikan (dengan dalih undang-undang dsb), telah mereka miliki. Mereka pun punya etika, tidak mengusik calon penumpang meski tangan berbalut tato. Sesekali ada yang bertanya kepada calon penumpang,”Bandung mbak?”.

Perempuan yang ditanya itu diam saja, cuek dan dengan mata tidak bersahabat pergi ke kerumunan calon penumpang lain.

Sebenarnya saya masih ingin menikmati suasana pintu tol Bekasi Timur I, akan tetapi bus tujuan telah datang. Seorang dari mereka memberi tahu, “Itu Cirebon pak!”. Spontan saya jawab, “Terima kasih”. Hampir serempak empat lelaki muda itu berkata, “Hati-hati pak… selamat jalan”. []

*Kolomnis, tinggal di Cirebon.

Komentar