Oleh Dadang Kusnandar
TIDAK ada kata yang tepat selain ucapan SELAMAT kepada Nasruridin Azis dan Eti Herawati. Setelah melalui jalan berliku penuh onak dan duri, bahkan caci maki serta ancaman–kursi kekuasaan Walikota/Walkil Walikota Cirebon 2019-2024: akhirnya tergenggenggam juga. Setelah melewati masa-masa tidak menyenangkan dengan berbagai intrik dan sebaran fitnah politik, Azis-Eti didapuk untuk segera dilantik.
Menjadi Walikota/Wakil Walikota Cirebon sejak 1998 yang lalu menjadi catatan politik cukup seru, setidaknya peluang dan kesempatan memperoleh jabatan politik agak dimudahkan oleh penyelenggara negara. Dapat dibayangkan, seseorang yang semula tidak memahami apa pun tentang penyelenggaraan negara, hanya karena rajin hadir diskusi politik dan bicara sampai berbusa-busa, kadang berakting dengan mimik meyakinkan dan gestur memikat –sejumlah orang terpesona. Tak lama kemudian ia menjadi tokoh politik. Lalu menjadi anggota DPRD berjas dasi dan memperoleh julukan, “Anggota DPRD yang terhormat”.
Apakah suasana di atas berkah atau hikmah? Bagi saya perubahan status seseorang merupakan hikmah. Mereka yang terdongkrak naik ke pergaulan lebih baik dan dihormati adalah mereka yang mengetahui kiat dan cara memanfaatkan situasi yang berkembang.
Pendidikan formal, pengalaman di lapangan, kerja-kerja politik yang dilakukannya selama ini akan menjadi bekal menentukan kebijakan yang akan diambil. Perubahan konon senantiasa mengiringi perjalanan manusia, berbekal perjalanan itulah, politisi yang manggung (dan akan manggung) di Kota Cirebon diharapkan tetap berpegang pada kemampuan diri menempatkan orang lain di atas aku. Lantaran perubahan juga yang seketika menggetarkan mata batin tatkala melihat betapa sebenarnya kita belum beranjak jauh dari adagium lama: Beri rakyat roti kelak mereka kenyang!
Seperti itukah faktanya? Setangkup roti berisi mentega dan sekerat daging kecil plus sayuran hijau lalu disodorkan kepada rakyat, maka selesailah pembangunan. Itu kisah Romawi ketika demokrasi diadopsi menjadi begitu sederhana. Anggota parlemen cukup dijanjikan uang dan kekuasaaan sementara rakyat cukup makan roti dan minum anggur hingga mabuk.
Pertanyaan yang mengemuka bagi Kota Cirebon saat ini antara lain: pertama, adakah keberanian dan kesiapan Walikota/Wakil Walikota untuk menyelesaikan satu saja masalah krusial yang mengepung? Misalnya, kita tidak pernah terbuka terang masalah Corporate Social Responsibility (CSR) yang digelontorkan sejumlah perusahaan besar di Kota Cirebon. Ke mana sajakah aliran dana tersebut dan sebagainya? “Cib lud, sing penting ente keduman!”.
Apabila CSR ini dikelola dengan baik dan proporsional, saya kira, manfaatnya dapat terasa oleh para pelajar/mahasiswa berprestasi, bukankah hingga kini kita belum mendengar ada seorang mahasiswa cerdas asal Kota Cirebon yang lulus cum laude dengan biaya CSR?
Akan tetapi, secara teknis pengelolaan CSR jangan diberikan kepada sejumlah pengangguran yang memperoleh pembayaran/upah atas pekerjaan ini. Jika para pengangguran yang melakukannya tak pelak dana CSR itu sebagian masuk ke kantong mereka. Saya kira contoh penempatan orang-orang terdekat Walikota/ Wakil Walikota Cirebon untuk jabatan Badan Pengawas (BP) sejumlah BUMD patut dikaji ulang. Jangan berikan jabatan kepada mereka yang tidak pantas menerimanya.
Khalifah Usman bin Affan kendati dikenal sebagai pemimpin Islam yang nepotis, akan tetapi, mereka yang terpilih telah melalui tahapan berat dan seleksi yang ketat. Sangat berbeda keadaannya dengan penetapan SK Walikota Cirebon mengenai anggota BP di sejumlah BUMD.
Seandainya Azis dan Eti berani melakukan perubahan drastis guna kemajuan kota dengan risiko ditinggalkan sebagian orang yang dijanjikan jabatan, pada saat itulah Azis dan Eti tegak menjadi diri sendiri. Politik yang sudah dikunyah Azis dan Eti selama ini mestinya jadi pengalaman berharga karena betapa mahalnya perjuangan menyejahterakan rakyat. Orang bilang 300-an ribu rakyat itu sedikit namun mengapa harus ragu membelaya? Membela ketika kekuasaan dan kebijakan ada di dalam genggaman Anda berdua.[]
Komentar