Catatan DADANG KUSNANDAR*
DARI kajian kitab Iqodzul Himam Syarah Al-Hikam mengenai hati dijelaskan bahwa hati merupakan penggerak utama yang memosisikan kedudukan seorang hamba di hadapan Sang Pencipta. Hamba yang mampu mengelola hati untuk mengatasi persoalan duniawi dengan cara-cara ukhrawi maka ia akan terlepas dari kematian hati. Hatinya terus hidup karena sibuk mengingat Allah.
Sebaliknya siapa pun kita apabila tidak menyesal ketika tidak taat kepada Allah, tidak ada sedikit pun rasa kecewa saat mengerjakan kesesatan, dan bergaul dengan orang yang melupakan kematian ~itulah tanda-tanda kematian hati.
Mengapa hati mengalami kematian? Kitab klasik karya besar Ibnu Athoilah itu memaparkan penyebab kematian hati antara lain, hubbud dun’ya (cinta dunia yang berlebihan), lupa untuk mengingat Allah dan rela membiarkan anggota tubuh berlalu maksiat kepada Allah.
Hati sebagai anggota tubuh harus senantiasa dimakzulkan hanya kepada Allah. Bukan kepada harta dunia serta segala sesuatu yang bendawi. Bukankah dosa yang paling besar ialah lupa kepada Allah? Lupa dalam konteks ini bermula dari hati yang terlalu rumit dengan persoalan-persoalan duniawi.
Di atas itu merupakan catatan kecil saya atas kajian di sekretariat
PC NU Kota Cirebon yang dihantarkan oleh Kang Tejo Ibnu Pakar pada Rabu 22 Februari 2017. Lebih jauh kajian yang sudah berjalan 5 (lima) tahun dengan penekanan pada pentingnya muhasabah (introspeksi diri) itu mengajak tanpa menggurui peserta kajian untuk melaksanakan ajaran Islam dengan keutamaan hati.
Bersosialisasi di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen kerap diulang Kang Tejo. Hal ini penting lantaran khalwat seorang sufi dilakukan dalam keramaian. Dengan kata lain menjadi sufi bukan menjauh dari hiruk pikuk dunia/ menyepi di ketinggian gunung seorang diri.
Itu pula yang mengharuskan kaum muslim memiliki harta dunia yang banyak. Dengan kekayaan ia dapat menyantuni orang miskin atau bersedekah, infaq, bahkan mewakafkan hartanya di jalan Allah. Inilah cara bersyukur orang kaya yang berangkat dari pemahaman bahwa kekayaan dan kenikmatan duniawi hanya berada di dalam genggaman tangan. Cara bersyukur ini merupakan mediator agar terbebas dari keburukan. Dan semuanya berpusat dari kekayaan hati.
Penggunaan kekayaan yang digunakan untuk kebaikan niscaya akan meningkatkan kualitas kekayaan. Di samping itu kekayaan memang untuk dinikmati dan dirasakan menggunakan bashirah. Dengan demikian kenikmatan sekecil apa pun tidak mengendap di dalam hati, karena di hati hanya ada satu yaitu Allah swt.
Inilah pentingnya menjaga kekayaan dengan bersyukur. Syukur itu sendiri dapat diartikan meyakini bahwa rizki berasal dari Allah. Idiom makrifatul mun’im yakni mengenali pemberi rizki dapat diterakan di sini. Bila dirunut semuanya kembali kepada kekayaan hati.
Rabu, 18 April 2018 kajian kitab Iqodzul Hikam fi Syarah Al-Hikam agak istimewa. Menjelang akhir Kang Tejo membacakan sebuah puisi tanpa judul karyanya yang ditulis dalam perjalanan dari rumah ke lokasi.
“Tidak menyukai tidak membenci,
membenci tidak memusuhi,
memusuhi tidak mencelakai.
Ingat rayuan syetan,
ikutilah aku engkau pasti sesat,
dendam kusumat, sampai akhir hayat, kau benci dia, dia terbukti berjuang,
kau musuhi dia, dia pengabdi bangsa,
kau celakai dia, dia memberi manfaat,
Dan engkau iri dengki, suka menghujat, tak pernah berbuat, apalagi untuk rakyat, kecuali bersekutu dengan si laknat.”
Substansi puisi tanpa judul di atas agaknya dapat diterjemahkan secara bebas pada kekayaan hati. Sebagaimana do’a Nabi Daud as, “Ya Allah, Engkau boleh hancurkan seluruh tubuhku, asalkan hatiku tetap untuk Engkau”. []
*Jamaah Pengajian Kang Tejo.