Umar dan Pakaian Lusuh

  • Bagikan
Zuhud

Oleh Dadang Kusnandar

ANAK lelaki khalifah Umar bin Khattab suatu ketika menyampaikan keluhannya kepada ayahanda. “Bapak, aku sering diejek teman-teman sekolah”, katanya. “Mengapa?”, tanya Umar. “Celana saya banyak bertambal kain dan sudah lusuh. Saya malu, abiii…..” Khalifah Umar kemudian mengutus seseorang untuk meminjam sejumlah uang dari kas negara. Untuk membeli “celana anaknya” yang telah lusuh itu. Jaminan atas pinjaman itu adalah gaji bulanan sang khalifah. Namun dijawab oleh pemegang kas negara, “Wahai khalifah, yakinkah bahwa Anda masih hidup pada saat harus mengembalikan utang?”. Seketika Umar tertegun dan mengurungkan niatnya meminjam/ berutang ke kas negara/ baitul mal.

Kisah di atas mengundang dan mengandung dua hal, yakni sisi positif dan negatif. Secara positif kisah yang susah dilacak kebenarannya itu memberi pelajaran tentang jangan membiasakan diri berutang meskipun mampu membayarnya lantaran ada agunan. Secara negatif, sepertinya kaum muslim dibuai cerita atau pelipur lara bahwa Khalifah Umar bin Khattab merupakan prototipe pemimpin yang kere demple, melarat dan tidak sanggup membelikan pakaian yang layak bagi anaknya/ keluarganya.

Banyak kisah menyoal khalifah nan pemberani serta “garang” namun adil ini disertai kemiskinan pribadi yang amat memilukan. Tak jarang pula da`i kondang (misalnya alm. Zaenuddin MZ) menceritakan busana yang dikenakan khalifah Umar bin Khattab yang dipenuhi tambalan. Nampaknya ada pesan moral yang hendak disampaikan, yakni khalifah mengajak kerabat Negara untuk tidak berlebihan mengenakan busana pribadi. Akan tetapi mengapa pakaian sang khalifah sendiri harus seburuk itu?

Ada pula kisah seperti ini menyangkut pakaian yang dikenakan/ dimiliki khalifah Umar bin Khattab: Pekerjaan sehari-hari Umar bin Khattab ra. adalah berdagang, ketika beliau menjadi khalifah keperluannya dipenuhi dari baitul mal dan tidak berdagang lagi. Beliau mengumpulkan rakyatnya di Madinah Munawwarah, lalu beliau berkata,” Saya biasa berdagang, sekarang kalian telah memberiku suatu kesibukan sehingga saya tidak dapat berdagang lagi. Sekarang bagaimana dengan mata pencaharian saya?” Orang-orang berselisihpendapat tentang jumlah tunjangan bagi Umar ra. Sedangkan Ali bin Abi Thalib hanya berdiam diri. Umar  bertanya kepadanya, “Bagaimanakah pendapatmu wahai Ali?” Jawab Ali ra. “Ambilah uang sekadar untuk mencukupi keperluan keluargamu.” Umar sangat menyetujui usul Ali. Maka ditentukanlah uang tunjangan untuk khalifah Umar.

Beberapa lama kemudian, beberapa orang sahabat termasuk Ali ra, Utsman ra, Zubair ra, dan Thalhah ra. mengusulkan kenaikan tunjangan untuk khalifah Umar ra. karena tunjangannya terlalu sedikit. Tetapi tak seorang pun yang berani mengemukakannya secara langsung kepada Umar ra. Akhirnya mereka menemui Hafshah r.ha. putri Umar ra. dan juga ummul mukminin istri Rasulullah saw. Mereka meminta agar ia mengajukan usul mereka kepada Umar  tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Ketika Hafshah mengajukan usul tersebut, wajah Umar menjadi merah karena marahnya. Umar  bertanya, “ Siapakah yang mengusulkan ini? “ Siti Hafshah menyahut, “Jawablah dulu bagaimanakah pendapatmu?” Umar  berkata, “Andaikan saya tahu siapakah mereka itu, niscaya akan saya tampar wajah mereka. Hafshah ceritkanlah tentang pakaian Nabi saw. Yang terbaik yang pernah beliau miliki di rumahnya. “ Hafshah menjawab,” Beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa  beliau kenakan pada hari Jum’at atau ketika menemui tamu”.

Zuhud

BACA JUGA:  Soal Dugaan Kecurangan Pemilu, Aktivis Barak Adam: Tunggu Keputusan KPU

Sikap zuhud Umar yang meneladani Rasulullah Muhammad saw mungkin saja berlebihan alias dilebih-lebihkan oleh para penutur. Tidak logis seorang khalifah tidak sanggup menyediakan/ membeli pakaian layak untuk dirinya dan keluarganya. Betapa pun khalifah Umar adalah pemimpin imperium besar di jazirah Arabia bahkan kisah penaklukkan dan perluasan wilayah kekuasaannya menembus hingga ke Persia dan Romawi. Sebagai seorang khalifah pengganti Abu bakar pada tahun 634 H kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium) pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Sangat musykil jikalau busana sang khalifah penuh tambalan. Bagaimana bila menerima tamu negara yang menjadi imperiumnya? Tetap mengenakan baju burukkah? Wallahu `alam bishshawab.

Sikap zuhud atau tidak mementingkan kemewahan duniawi agaknya lebih tepat dikenakan kepada mereka yang suka hidup berlebihan serta tidak/ kurang peduli kepada masyarakat sekitarnya. Mukmin sekaliber Umar bin Khattab, pemimpin imperium besar dan berpengaruh dalam sejarah dunia, menerapkan zuhud dalam kedekatan dirinya kepada Sang Khalik, Allah Aza wa Zala.

Sebuah hadis Nabi mengatakan, dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan). Pengertian zuhud meminjam  –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.

BACA JUGA:  Andai Saja Kehidupan Online tanpa Biaya

Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar al-Ghifari adalah: “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.” Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”

Keterangan lain dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“

Boleh jadi kisah ketidakmampuan khalifah Umar dalam hal menyediakan pakaian layak bagi keluarga dan dirinya hanya sebatas kisah fiksi agar kaum muslim menjauhkan diri dari dunia. Agar kaum muslim tidak perlu menjadi kaya raya dan tidak memperhatikan penampilan dirinya. Di sisi lain bisa pula kisah ini merupakan olok-olok musuh Islam saat itu kepada sang khalifah lantaran ketidakmampuan mengalahkan beliau dalam peperangan.

Dengan kata lain manakala musuh-musuh itu tidak bisa mengalahkan khalifah Umar bin Khattab secara fisik, mereka melakukan penghancuran image sosoknya secara sistematis melalui kisah yang disisipkan dalam biografi orang besar itu. Kisah pakaian lusuh dan penuh tambalan itu akhirnya dianggap benar karena disampaikan dengan penuh penghayatan oleh seorang khatib di atas mimbar Shalat Jum`at. Marilah kita sebagai muslim yang kritis untuk tidak serta merta menelan bulat-bulat kisah yang tidak logis pada perjalanan hidup orang besar nan mulia, sahabat Nabi, mertua Nabi, yang dijuluki Singa Padang Pasir. []

 

 

 

 

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *