Tawakal

Oleh SUTEJO IBNU PAKAR*

TAWAKAL adalah gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Tawakal bersumber dari kesadaran hati bahwa segala sesuatu yang ada di jagat raya ini berada dalam kekuasaan Allah. Ia merupakan buah dari tauhid yang benar, kokoh dan lurus. Tawakal adalah kepasrahan dan penyerahan secara keseluruhan terhadap keputusan dan ketetapan Allah. Ia merupakan rahasia antara hamba dengan Allah.

Menurut Abu al-Hasan Sirr bin al-Muflis al-Saqathi (w. 251 H./865 M.) tawakkal ialah seseorang tidak mengandalkan daya dan kekuatannya sendiri. Sedangkan menurut Syaqiq Ibrahim al-Bakhi (w. 194 H./810 M.) makna tawakal ialah bahwa, hatimu tenang karena yakin pada janji Allah pasti benar. Kemudian, menurutnya, tawakal dapat dilihat dari empat perspektif: tawakal dalam hal-hal harta, jiwa, pergaulan dan hubungan dengan Allah. Tetapi, tawakal kepada Allah sudah mencukupi dari yang lain-lainnya.

Tawakal, bagi Al-Ghazali bermula dari rasa keimanan seseorang. Keimanan yang dimaksud ialah kemampuan melihat tidak adanya wujud hakiki selain Allah yang melahirkan peleburan ke dalam keesaan-Nya (fana` fi al-Tawhid). Dalam hal ini sang sufi bagaikan tubuh mati dan tidak berusaha untuk bergerak. Ia membagi tiga tingkatan atau derajat tawakal sebagai berikut:

1. Menyerahkan diri kepada Allah ibarat seseorang menyerahkan perkaranya kepada pengacara yang sepenuhnya dipercayakan menangani dan memenagkannnya. Demikian pula halnya menyerahkan diri kepada Allah dengan penuh keyakinan akan jaminan pemeliharaan Allah sebagaimana seseorang (klien) mempercayakan nasibnya kepada sang pengacara.

2. Menyerahkan diri kepada Allah ibarat seorang bayi menyerahkan diri kepada ibunya. Tidak mengenal, tidak mengandalkan, dan tidak mengharapkan selain ibunya. Seseorang yang mencapai derajat ini akan menghadapkan seluruh jiwa raganya kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai andalan satu-satunya.

BACA JUGA:  Polres Majalengka dan Kodim 0617 Bantu Korban Puting Beliung Desa Kedung Sari

3. Derajat tertinggi, yakni menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah ibarat janazah di tengah petugas yang memandikannya. Dia melihat dirinya digerakkan oleh ketentuan-ketentuan Ilahi sebagaimana jenazah digerakkan oleh petugasnya. Peringkat tawakal ini melahirkan sikap tak berdoa dan tidak meminta sesuatupun atas keyakinan akan kedermawanan dan kasih sayang Allah. Berbeda dengan peringkat kedua, bayi yang masih menuntut kepada ibunya.

Peringkat ketiga adalah peringkat tertinggi dan merupakan puncak perasaan yang timbul tetapi ia berlangsung hanya sesaat sebab yang bersangkutan pada saat itu ibarat seseorang yang kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lain halnya dengan peringkat kedua, walaupun dapat berlangsung lebih lama tetapi maksimal dua hari mengingat karakteristik manusia yang cenderung mengandalkan hukum sebab akibat, usaha dan kerja untuk dapat bertahan hidup.

Sebagian sufi mengatakan, tawakal adalah salah satu peringkat bagi orang-orang beriman yang pada dasarnya samar bagi pengetahuan dan sangat sulit dipraktekkan, namun tinggi keutamaannya. Tawakal, menurut al-Sirr al-Saqathi, ialah bahwa seseorang tidak mengandalkan daya dan kekuatannya sendiri. Konsep tawakal yang diajarkan dalam tasawuf, dengan demikian, seirama dengan ajaran jabbari, yakni tawakal tanpa usaha, kesemua nasibnya digantungkan pada takdir dan kehendak Allah semata-mata. Segala-galanya diyakini digerakkan oleh kekuatan langit. Fatalisme memang anak kandung ajaran setiap mistik termasuk tasawuf. Dan puncak penghayatan ma’rifat tentu melahirkan filsafat serba Tuhan dan serba gaib. Manusia tidak punya ikhtiar dan gerakan. Segala-galanya digerakkan oleh Allah.

Ketika seseorang telah mencapai Maqom tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Dia, maka segera diikuti menata hatinya untuk mencapai Maqom ridha`. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *