Tausiyah Ramadan: Manah dén Syukur ing Allah

Oleh NURDIN M. NOER

MENSYUKURI nikmat Allah haruslah dipahami secara luas. Nikmat Allah yang tiada batas merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada seluruh ummat manusia. Rakhmatan lil’alamiin. Rahmat untuk seluruh alam. Mengukur rasa syukur adalah sama seperti memahami diri sendiri. Syukur menjadi relatif, ketika manusia berada dalam kondisi dan situasi tertentu. Dalam keadaan marah misalnya, memunculkan psikologis yang kadang menghilangkan rasa syukur itu sendiri.

Karena itulah marah, disebutkan dalam berbagai hadis sudah seharusnya dihindari, apalagi pada saat Ramadan ini. Mengontrol diri merupakan tindakan yang lebih baik ketimbang harus melakukan kemarahan dan digantikan dengan rasa syukur. Dalam Al-Quran surat A’raf ayat 10, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”

Begitu pula dalam surat Al-Baqarah ayat 152, Allah berfirman, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku. ”Mengingat kepada Allah adalah berzikir dan berzikir berarti bersyukur kepada Allah.

Dalam tradisi lisan masyarakat Cirebon, leluhur memesankan, “Manah dén syukur ing Allah” (rasa mensyukuri nikmat Gusti Allah). Kata “manah” (sansekerta) dalam pesan tersebut berarti “perasaan” atau rasa syukur tak terhingga. Karena rasa syukur hanya ada pada perasaan manusia, maka sulit diukur keberadaannya, kecuali mereka sendiri yang merasakannya.

Pada bulan Ramadan ini juga, para leluhur kita juga menekankan, ”Kudu ngakehaken pertobat (harus melakukan tobatan nasuha, tobat yang sebenar-benarnya tobat). Pesan Syekh Syarif Hidayatullah tersebut sampai saat ini masih dipegang kuat oleh kalangan santri dan tokoh masyarakat Islam, terutama yang ada di berbagai pesantren tradisional. Pesan tersebut merupakan salah satu cara paling gampang dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama, karena langsung disampaikan oleh para tokoh yang ada di lingkungannya. Pesan itu juga merupakan “kearifan lokal” yang masih hidup di sekitar kita.

Karena itu, pesan tersebut pernah dijadikan sebagai ajaran dan ujaran untuk pembelajaran rakyat yang masih belum mengenal agama (Islam) pada awal penyebaran Islam di daerah Cirebon. Sasanti atau patungkas tersebut biasanya ditembangkan dalam bentuk macapat, agar mudah dihafal. Kita maklumi, tembangan merupakan metode paling tepat untuk menghafal di luar kepala bagi para santri dan rakyat biasa. Di berbagai pesantren dan masjid, tembangan tersebut seringkali diubah dalam bentuk karya sastra yang dikenal dengan “syi’iran”.

Pesan lainnya adalah berupa kesinambungan ibadah secara tetap. Dawam atau kontinyu, seperti pesan leluhur, “Ibadah kang tetep” (ibadah yang tetap dan tidak mandeg). Hanya orang-orang yang berakallah yang bisa melakukan ibadahnya dengan baik, seperti dalam firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 9,” (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *