Citrust.id – Kedai kopi mulai banyak digandrungi anak-anak muda, hari ini. Di sana, siapa saja bisa berbagi obrolan, mulai dari yang serius sampai ‘receh’ tak bermakna. Sebagai ruang publik, kedai kopi menawarkan kebersamaan. Namun, ruang itu juga sekaligus menawarkan bentuk privatisasi.
Hal itulah yang melatarbelakangi komunitas Revolusi Kedai Kopi yang digawangi oleh Fahd Pahdepie dan kawan-kawannya untuk menggelar dan mengumpulkan anak-anak muda di sebelas titik (kota), salah satunya Cirebon.
Berbekal pengetahuan mengenai revolusi yang dilakukan tokoh-tokoh dahulu, mereka mencoba menjadikan kedai kopi sebagai wahana terjalinnya transformasi berpikir.
“Di kedai kopi itu tidak ada ideologi yang mencolok. Semua membaur. Kedai kopi bisa diakses oleh siapa saja, mulai dari anak sekolahan sampai pebisnis. Kedai kopi adalah karya. Wujud dari ide yang dieksekusi. Dari pikiran yang bisa digerakkan untuk orang lain,” papar Fahd kepada audiens yang berasal dari berbagai komunitas di Cirebon, Sabtu (18/8/2018).
Berawal dari revolusi, lanjut Fahd, selanjutnya mengarah kepada perubahan cara berpikir. “Cara berpikir kita yang terlanjur seragam membuat pemikiran-pemikiran yang lain seperti tidak lazim atau tidak dihargai. Padahal, belum tentu,” imbuhnya.
Konsep berpikir konvensional orangtua zaman dulu misalnya, yang menginginkan anaknya tumbuh dengan baik, kemudian lulus kuliah, menikah, menjadi pekerja, dan mendapat dana pensiunan, menurut Fahd harus diubah.
“Termasuk cara anak muda hari ini yang berpikir politik dan ingin membantu masyarakat, kenapa jalan satu-satunya yaitu dengan menjadi caleg?” tanya Fahd yang disambut tertawa kecil para audiens.
Sementara menurut Romzi Ahmad, Founder AIS Nusantara, anak muda sekarang berbeda dengan dulu yang revolusioner.
“Kalau saya bicara soal anak muda Cirebon, agak bingung juga. Cirebon harusnya bisa disebut sebagai kota pendidikan, sebagai kota ekonomi juga tepat, sebagai kota transit juga bisa. Kita punya sejarah panjang, tetapi hotel dan kulinernya sedikit yang dimiliki oleh orang Cirebon,” ujarnya.
Romzi juga mengatakan, istilah kota wali atau santri mulai bergeser. Padahal, revolusi santri berangkat dari keraton-keraton di Cirebon. Karena berbagai faktor, sehingga mulai memudar.
Di sisi lain, di luar kota, banyak tokoh-tokoh besar berasal dari Cirebon. “Sayangnya tidak dilahirkan dari rahim Cirebon,” pungkasnya./citrust.id
Komentar